Buruk Sangka 1
Ada seorang Bapak naik kereta api dengan empat orang anaknya
yang masih kecil-kecil. Mereka berangkat dari Jakarta menuju ke Surabaya dengan
kereta eksekutif. Sejak dari berangkat, keempat anaknya tidak henti-hentinya
bermain, bercanda, berlari-lari sepanjang gerbong kereta. Sementara si Bapak
kelihatan duduk terpekur seakan tidak peduli pada tingkah anak-anaknya yang
cukup menggangu penumpang lain.
“Pak, maaf ya. Apakah tidak sebaiknya anak-anak Bapak
disuruh duduk saja yang tenang di dekat Bapak? Suara mereka bising sekali Pak. Tingkah
mereka terlalu over. Saya sangat
terganggu….. Mungkin penumpang lain juga begitu. Cuma mereka sungkan saja tidak
mau menegur Bapak…… Kok Bapak tidak peduli begitu sih? Kalau enggak bisa ngurus
anak, ya sebaiknya tidak usah punya anak,” demikian sergah si wanita muda pada si
Bapak, dengan suara tinggi dan nada gusar. Penumpang lain mendengarkan. Sebagian
bergumam tanda setuju pada si wanita.
Si Bapak mengangkat wajahnya sejenak menatap wanita itu
sebentar. Hanya lima detik, untuk kemudian kembali terpekur mengalihkan
pandangannya lagi ke ujung sepatunya. Sambil menghela nafas ia berkata,
“Yah,
tadinya memang saya mau melarang anak-anak saya bersenang-senang seperti itu… “
Kemudian si Bapak diam lagi, terpekur kembali, agak lama.
“Kalau Bapak tidak mau melarang, biar saya saja yang melarang
mereka,” potong seorang ibu yang tidak sabar menunggu respon lanjutan dari si
Bapak.
“Jangan Bu,” cegah si Bapak. Sekali lagi si Bapak menghela
nafas dan kemudian melanjutkan dengan kata-kata berikut.
“Saya cuma tidak tega saja menghilangkan keceriaan anak-anak
saya. Mereka baru pertama kali naik kereta api. Ini hari pertama saya melihat mereka
tertawa, sejak pekan lalu. Istri saya, ibu mereka, baru saja meninggal dunia sepekan
yang lalu. Saya mau membawa mereka ke rumah neneknya di Surabaya. Mudah-mudahan di
sana mereka bisa melupakan duka-cita keluarga kami yang berat ini.”
Tiba-tiba gumaman penumpang berhenti. Hening. Hanya terdengar
tawa ceria empat orang anak-anak yang berlari di lorong kereta. Rasa sesal
menyeruak ke dalam hati para penumpang yang tadinya berburuk sangka pada sang
Bapak. Si wanita muda terdiam tidak tahu harus berkata apa. Beberapa ibu
menyembunyikan matanya yang membasah.
Berburuk sangka pada sang Bapak telah menimbulkan rasa sesal
pada sebagian penumpang kereta api eksekutif itu. Terutama pada si wanita muda.
“Mengapa aku langsung menyerang dia dengan kata-kata kasar tadi, tanpa tahu
duduk persoalannya terlebih dulu?” pikirnya penuh rasa bersalah.
Buruk Sangka 2
Berprasangka buruk pada orang lain itu pada umumnya tidak
baik. Seperti contoh pada cerita pertama (Buruk Sangka 1). Buruk sangka yang
berakhir pada penyesalan. Buruk sangka atau su’u
zhon, terutama akan menjadi sangat buruk jika targetnya adalah saudara atau
sahabat kita. Masa’ ente enggak percaya
sih sama saudara sendiri? Ente enggak punya trust banget sama ane?!
Buruk sangka akan amat sangat buruk jika targetnya adalah
Sang Maha Pencipta, alias Allah SWT. Yang dimaksud dengan su’u zhon pada Allah contohnya adalah jika kita banyak mengeluh dan
merasa bahwa Allah telah berlaku tidak adil pada kita. Kalau kita dapat musibah
sedikit saja, sudah merasa bahwa kita adalah orang paling sial sedunia. Biasanya
kemudian timbul pertanyaan: “Kenapa saya? Kenapa saya mendapat musibah ini? Why me?
Tuhan benar-benar tidak adil!”
Konon di negeri Paman Sam pernah ada tuntutan tidak masuk
akal yang didaftarkan ke pengadilan sipil setempat oleh seorang preman. Objek yang
dituntutnya adalah: Tuhan. Isi
tuntutan: bahwa Tuhan telah berlaku
tidak adil dan sewenang-wenang dengan menggariskan takdir Mister Preman
tadi menjadi orang jahat, tidak pernah kaya dan selalu ketiban sial. Tuntutan
yang benar-benar konyol. Dalam bahasa kita di Indonesia, itu adalah buruk
sangka yang sangat keterlaluan terhadap Allah SWT. Untungnya tuntutan itu tidak
dipenuhi oleh Pengadilan AS. Mungkin bisa meletus Perang Dunia ketiga jika
tuntutan gila itu dipenuhi ;-)
Cerita sebaliknya adalah dari Menteri Kesehatan kita,
almarhumah ibu Endang Sri Rahayu.
Ketika beliau diketahui menderita kanker paru ganas, tidak terlihat rasa kecewa
atau marah dari ibu Endang pada Allah SWT. Justru beliau ber-husnu-zhon
(bersangka baik) bahwa pasti Allah SWT memperlihatkan hikmah-Nya. Beliau justru
membandingkan kenikmatan yang telah diterimanya selama ini, seperti memiliki
keluarga yang pintar, baik dan penuh cinta, harta yang cukup, ilmu yang tinggi,
dengan cobaan ‘kecil’ yang dideritanya. Menurut beliau jauh lebih besar
kenikmatan yang telah dia terima daripada keburukan yang menimpanya. Sehingga dengan
pasrah dan tawakkal, ibu Endang menerima takdir bahwa paru-parunya menjadi
tempat bersemayam virus kanker yang ganas.
Itulah salah satu contoh husnu-zhon
pada Allah SWT yang patut ditiru oleh semua orang. Setelah kita melakukan ikhtiar dengan optimal, maka kita
bersangka baik bahwa Allah SWT akan menggariskan takdir-Nya pada kita dengan
sifat ke-Maha Besar-annya. Dan itu jalan hidup kita yang terbaik.
Buruk Sangka 3
Tapi ternyata ada buruk sangka (su’u zhon) yang dianjurkan.
Yaitu berburuk sangka pada diri kita sendiri. Maksudnya seperti apa?
Su’u zhon yang
dimaksud di sini adalah buruk sangka terhadap amal-amal yang telah kita
lakukan. Kita dianjurkan memandang remeh pada perbuatan-perbuatan baik yang
kita lakukan. Ada banyak orang yang berbuat lebih baik dari kita. Amal-amal
sholeh kita itu tidak ada artinya dibandingkan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan
yang telah kita lakukan. Pahala yang mungkin kita dapat dari amalan kita masih
jauh dari cukup untuk memasukkan kita ke surga. Demikian seterusnya, kita
bersangka buruk bahwa amal-amal kita belum banyak dan belum tentu diterima, kita
kurang ikhlas, kerja kita kurang optimal. Dan lain sebagainya.
Dengan demikian kita terpacu untuk terus memperbaiki
amal-amal kita dan terus menambah perbuatan-perbuatan baik kita.
Ketika Abu Bakar
Shiddiq ra dipuji orang karena khutbahnya yang bagus, beliau menjadi sangat
bersedih. Karena beliau merasa bahwa amal-amalnya masih jelek, jauh di bawah
daripada yang disangkakan orang kepadanya. Sehingga beliau berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari
apa yang mereka persangka-kan. Dan ampunkanlah keburukan-keburukanku yang tidak
mereka ketahui.”
Suatu ketika turun Al-Qur’an
surat Al-Mu’minuun ayat 60, yaitu:
Yang artinya: “Dan
orang-orang yang memberi dengan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang
takut, sesungguhnya mereka akan
kembali kepada Rabb mereka.”
Lalu Aisyah ra
bertanya pada Rasululloh SAW, “Mengapa
mereka merasa takut? Apakah karena
mereka orang-orang yang mencuri, berzina, meminum khamr? Sehingga mereka merasa
takut pada Allah?”
Rasululloh SAW menjawab, “Bukan wahai putri As-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang mendirikan sholat, berpuasa, bersedekah. Tetapi
mereka takut bahwa semua amalnya itu tidak diterima oleh Allah SWT.
Sehingga mereka selalu bersegera untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Dan merekalah
orang-orang yang akan segera menerima kebaikan itu.”
Jadi orang-orang yang digambarkan di surat Al-Mu’minuun ayat
60 tersebut adalah orang-orang yang ber-sangka buruk terhadap amal-amalnya. Mereka
sudah banyak melakukan sholat, puasa, sedekah. Akan tetapi mereka menganggap amal-amal itu masih sangat sedikit. Mereka ber-su’u zhon bahwa amal-amal itu belum
dapat mengangkat mereka ke surga. Akibatnya mereka terus berupaya untuk
menambah amal-amal mereka dengan senantiasa bersegera untuk melakukan kebaikan
kebaikan lain dimanapun dan kapanpun. Dan Rasululloh SAW menjanjikan
kebaikan-kebaikan yang banyak untuk mereka. Dan mereka akan kembali kepada
Allah SWT dengan membawa amal-amal kebajikan yang banyak.
Itulah dia buruk sangka yang berbuah surga. Buruk sangka
terhadap amal-amal kita sendiri. Semoga kita terus ber-fastabiqul khoirot, berlomba-lomba mengerjakan kebaikan-kebaikan
karena amal-amal kita memang senantiasa tidak cukup untuk membawa kita ke surga
jannatuna’im. Kecuali jika Allah SWT
memberikan Rahmat-Nya pada kita. Wallahu’alam.
0 komentar:
Posting Komentar