Ads 468x60px

Rabu, 10 Oktober 2018

Kisah Ajaib di Masjid Nabawi

Kesombongan hati itu kadang-kadang tidak kelihatan tapi dapat dirasakan. Dan di tempat suci, kesombongan akan mendapatkan ganjarannya.




Saat itu saya sudah sekitar tujuh kali pergi ke Tanah Suci, Makkah dan Madinah. Dua kali ibadah haji dan selebihnya ibadah Umroh. Secara pelan tapi nyata setan mengarahkan saya menjadi sombong dan tinggi hati, karena merasa sudah sering mengunjungi Al Haromain (dua masjid suci). Astaghfirullahal adzim….

Tahun lalu di Ibadah Umroh yang terakhir, saya kena batunya. Seperti biasa jama’ah berziarah ke Masjid Nabawi di Madinah terlebih dahulu sebelum melakukan Umroh ke Makkah. Kami bersama rombongan Jama’ah Umroh Pesantren Tahfizh Al Qur’an “Griya Qur’an”. Santri-santri mereka yang bisa menyelesaikan hafalan Qur’an sampai suatu standar tertentu mendapatkan hadiah Subsidi Umroh.


Di dalam Masjid Nabawi terdapat makam Yang Mulia Baginda Nabi Muhammad Shallaallahu 'Alaihi Wa Sallam beserta dua sahabatnya yaitu: Abu Bakar Shiddiq dan Umar bin Khattab. Tempat ini merupakan tempat ziarah utama di Madinah. Sehingga setiap kali orang sampai di Madinah, maka yang mereka cari pertama kali adalah berziarah ke makam tersebut. Dan biasanya dilakukan setelah sholat jama’ah di Masjid Nabawi.

Sesampainya di hotel di Madinah, para jama’ah sudah heboh mau cepat-cepat sholat Ashar di Masjid Nabawi, dengan harapan segera dapat berziarah ke Makam Nabi Muhammad SAW. Terutama para santri hafizh Qur’an yang masih muda-muda. Ini merupakan pengalaman pertama mereka berkunjung ke Masjid Nabawi.

Saya, sebagai orang yang sudah “berpengalaman”, cuma senyum-senyum saja. Saya ikut sholat jama’ah Ashar ke Masjid Nabawi tapi dalam hati sudah berniat untuk langsung balik ke hotel setelah selesai sholat. Saya berpikir “ahh… gue udah sering ke Makam Nabi SAW, besok aja deh… masih capek nih”

Sehingga kemudian ketika para santri dan jama’ah Umroh rombongan kita pergi berduyun-duyun antri ke area Raudhoh (area “Taman Surga” di Masjid Nabawi, disamping Makam Nabi Muhammad SAW), saya sendirian menyelinap pulang ke hotel.

Ketika maghrib datang, kita kembali sholat Jama’ah Maghrib dan Isya ke Masjid Nabawi. Antara Maghrib dan Isya ada yang pulang dulu ke hotel untuk makan malam dan ada yang tetap di masjid untuk mengikuti ceramah agama yang disediakan di beberapa titik area masjid dalam berbagai bahasa. Saya memilih untuk “stay” di masjid untuk mendengar ceramah yang berbahasa Indonesia. Saat itu penceramahnya adalah ustadz Firanda Andirja yang sering muncul di Radio Rodja.

Dalam benak saya tercetus niatan untuk berziarah ke Makam Nabi Muhammad saw setelah usai sholat Jama’ah Isya. Tapi kemudian setelah sholat Isya selesai pikiran “sesat” kembali dihembuskan ke dalam kepala saya oleh syaithonirrojim. Tiba-tiba saya merasa lapar sehingga akal bulus saya memakai alasan “lapar” itu untuk tidak segera menziarahi Makam Nabi Muhammad saw ba’da Isya. Padahal kemudian di hotel, menu malam itu juga tidak bagus-bagus amat. Di Hotel malah justru saya mendengar celotehan dari jama’ah Umroh tentang pengalaman pertama mereka berziarah ke Makam Rasulullah SAW. Pada umumnya mereka bercerita betapa gemetarnya hati mereka dengan kerinduan yang dalam ketika berada pada jarak yang sangat dekat dengan makam junjungan kita, idola terbaik, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.


Akhirnya malam itu saya tidur dengan agak cuek dan tidak lagi memikirkan tentang Makam Nabi Muhammad SAW. Rencana beberapa jama’ah untuk pergi lagi ziarah ke Makam setelah sholat Qiyamullail tidak terlalu saya hiraukan. Saya senantiasa berpikir… “ah… itu bisa kapan saja kok… masih ada waktu…”. Dan akhirnya Subuh tiba, dimana kita semua pergi ke Masjid Nabawi kembali untuk menunaikan sholat Subuh berjama’ah. Sholat di Masjid Nabawi tentu tidak boleh terlewatkan, mumpung sudah ada di Madinah. Sholat di Masjid Nabi ini pahalanya 1000 kali lipat dari sholat di masjid lain. Yang bisa mengalahkan hanya Masjidil Haram dan Masjidil Aqsho saja.

Anehnya ketika akan, sedang, dan setelah Sholat Subuh di Masjid Nabawi saat itu, saya tidak lagi punya ingatan untuk ziarah ke Makam Nabi Muhammad SAW. Yang saya ingat-ingat justru nomor tempat loker sandal saya. Sebenarnya bukan loker tapi sekedar rak saja. Yang berjejer sangat banyak di sisi-sisi shaf sholat. Tapi jumlah rak ada ratusan bahkan ribuan. Karena jama’ah di masjid sebesar Masjid Nabawi ini adalah puluhan ribu. Kalau kita tidak ingat nomor rak sandal akan sangat merepotkan, susah untuk mendapatkannya kembali.

Demikianlah, saya hafalkan nomor rak itu. Kalau tidak salah nomor 132. Dalam benak saya terujar, “Ok, habis Sholat Subuh, dzikir dan tilawah, aku bisa cepat ambil sendal dan terus pulang ke hotel.., siiiplah…”.

Dan datanglah keajaiban itu… Saya tidak bisa menemukan sandal saya. Angka 132 yang sudah tertancap di kepala saya ada tertera di nomor rak sandal. Tetapi sandal saya tidak ada. Saya jadi ragu… apakah 132 atau 213 atau 312…? Saya susuri rak-rak sandal di sepanjang barisan shaf masjid yang luar biasa besar tersebut. Berpapasan dan bertabrakan dengan ratusan orang jama’ah dari segala ras dan suku bangsa. Tidak juga saya temukan. Padahal jelas-jelas di dalam kepala saya tertanam angka 132 dan gambaran dari rak itu beserta sandal saya yang bertengger di atasnya.

Saya terus mencari-cari sandal ke dalam masjid, berpapasan dengan orang yang seliweran dengan urusannya masing-masing. Dan saya merasakan makin lama orang-orang di sekitar saya kok makin berdesak-desakan… Saya istighfar… Ya Allah ada apa dengan saya? Saya merasa ada yang aneh… Saya seperti terbawa gelombang manusia, saya tidak lagi berjalan sesuai dengan arah yang saya inginkan. Tapi saya merasa dibawa oleh gelombang manusia yang besar. Saya istighfar, saya bertasbih, saya bertahlil dan berdoa… Ya Allah … makin lama saya makin menyadari bahwa gelombang ini adalah antrian jama’ah yang akan menuju Raudhoh… Taman Surga tempat Makam Nabi Muhammad SAW dan dua sahabatnya berada…. Saya gugup, saya istighfar dan saya menangis… yaa Allah… yaa Rasulullah… Ampuni aku Yaa Allah Yaa Rasululloh… Ampuni hamba-Mu yang sombong dan arogan ini yaa Allah… Ampuni hamba-Mu yang tidak punya sopan santun dan tata krama sama sekali pada Rasul-Mu ini yaa Allah…


Saya menangis, saya istighfar, saya ucapkan dua kalimat syahadat berkali-kali sambil terus ikut arus antrian manusia yang menuju Radhotul Jannah, Taman Surgawi…  Dan akhirnya giliran saya bersama sekitar seratus manusia diberi kesempatan masuk ke Raudhoh, area tepat di samping Makam Rasulullah SAW, tempat kita bisa sholat, berdoa, bermunajat sepuasnya mengharap hidayah, ridho-Nya dan meminta ampunan Allah SWT serta melepas rindu pada kekasih kita, manusia tersuci sepanjang jaman, Nabi Muhammad SAW. Saya sholat sunnah di situ sambil menangis sejadi-jadinya. Saya tersungkur, terbetot oleh perasaan berdosa yang amat sangat. Saya memohonkan ampun atas semua dosa-dosa saya, terutama terhadap kesombongan saya yang luar biasa dua hari itu… Saya tersungkur di hamparan karpet Raudhoh Bersama ratusan jama’ah sebelum akhirnya dihalau keluar oleh Askar (petugas Masjid) untuk memberi kesempatan gelombang jama’ah berikutnya. Ketika meninggalkan Raudhoh, kembali lagi saya menangis sesenggukan berjalan di depan Makam Rasululloh SAW, Makam Abu Bakar dan Makam Umar bin Khattab sambil terus bershalawat pada Nabi...

Saya keluar dari pintu Masjid Nabawi dekat Kubah Hijau. Kemudian saya masuk masjid lagi dari pintu sisi lain yang agak jauh untuk pulang ke hotel, karena lebih mudah dan lebih enak ke arah hotel melalui bagian dalam masjid.

Saya kembali berpapasan dengan banyak jama’ah dari berbagai ras dan suku bangsa dengan urusannya masing-masing. Akan tetapi tujuan utama mereka ke Masjid Nabawi ini tentulah sama, yaitu: menziarahi Makam Baginda Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam


Secara naluriah saya menuju ke deretan rak-rak sandal, mencari rak sandal nomor 132. Hey, dia ada di situ… Sandal saya. Bertengger dengan anggun di atas rak. Saya ambil sandal saya seraya mengucap tahmid: Alhamdulillah. Saya menuju pintu keluar masjid yang searah dengan hotel saya. Di luar pintu, saya pakai sandal saya dan berjalan kaki pulang ke hotel.

Hari telah terang. Langit Madinah cerah seperti biasanya. Saya melirik matahari. Saya melihat ada senyum Rasulullah di sana. Saya tersenyum juga sambil menunduk malu. Allahumma sholli ala Muhammad wa ala aliy Muhammad...


Rabu, 03 Oktober 2018

Hidup di Atas Lempengan Bumi yang Bergerak-gerak…

Pertama-tama saya harus sampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya pada para korban musibah gempa, tsunami, tanah longsor, banjir lumpur di Lombok, Palu, Donggala, dan semua tempat di Indonesia ini. Semoga para korban diberi kesabaran atas berbagai cobaan tersebut. Dan juga mudah2an kita semua tetap memiliki semangat yang besar untuk bangkit dari pukulan dahsyat ini menuju kehidupan yang lebih baik.


Jadi, ternyata kita semua, orang Indonesia, hidup di tanah yang rawan gempa. Tanah Air kita terletak di pertemuan antar dua benua dan dua samudera. Betapa indahnya! Tetapi juga betapa besar resikonya! Karena artinya: negara kita terbentuk dari pertemuan lempengan-lempengan kerak bumi yang luar biasa besarnya di dasar bumi sana. Dan mereka kerap bergerak-gerak mencari keadaan yang lebih stabil dari waktu ke waktu.


Gerakan kecil lempengan Pak Bumi yang sudah mulai tua itu, bisa bermakna: gempa bumi besar bagi manusia yang tinggal di permukaannya. Ditambah dengan tsunami jika gesekan itu berada di dasar lautan.

Apa yang harus kita lakukan? Lari, pindah, hijrah ke negara lain yang lebih aman? Atau tetap tinggal diam di sini, di Tanah Air tercinta? Karena hujan batu di negeri sendiri masih lebih baik daripada hujan emas di negeri orang?

Saya memilih yang kedua. Tetap tinggal di tanah tumpah darah Indonesia, tempat saya dilahirkan. Dan tempat saya menghembuskan nafas terakhir kelak, jika Tuhan menghendaki. Akan tetapi… dengan beberapa persyaratan, yaitu:

1.     Saya harus menjadi orang yang suka menolong dan bisa membuat orang lain bahagia.
2.     Saya berusaha keras untuk selalu menjadi orang yang baik dan benar. Senantiasa dalam keadaan terhubung baik dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
3.     Sadar keamaan diri dan lingkungan setiap saat. Safety First!


Pertama: Bersifat Penolong

Apa yang kita lihat saat ini adalah bagaimana masyarakat yang tidak terkena musibah tergerak untuk datang memberi pertolongan atau memberi sumbangan dan bantuan kepada korban gempa, tsunami dan lain-lain itu. Walaupun dari sekian banyak “penolong” tersebut, terlihat juga mana yang tulus, setengah tulus, sepertiga tulus, atau kurang tulus. Yang cuma untuk pencitraan dengan membawa banyak wartawan. Atau sekedar selfie dan wefie. Bahkan masih ada juga yang cuek saja. Tidak peduli pada orang lain.

Ketika kita memposisikan diri sebagai korban, maka akan terasa sekali bahwa kita sangat butuh pertolongan orang lain, dari siapa saja. Dan pada umumnya orang akan lebih cepat dan lebih ikhlas menolong manusia-manusia yang dikenalnya sebagai “orang baik”. Salah satu ciri orang baik adalah yang dermawan dan ringan tangan dalam arti suka menolong orang lain. Jika dikenal masyarakat sebagai “orang baik” di keadaan normal maka ketika bencana datang kepada kita, besar harapan bahwa orang lain akan ingat kebaikan kita dan segera memberi pertolongan pada kita.


Kedua: Menjadi Orang Baik dan Benar

Bencana alam yang bertubi-tubi menimpa negara kita cukuplah sudah untuk menyadarkan diri kita akan kecilnya manusia itu di hadapan Alam Semesta. Lebih tepatnya: betapa sangat kecil manusia berhadapan dengan Kekuatan Tuhan Sang Maha Pencipta.

Kita semua pasti akan mati. Tidak ada yang bisa hidup selama-lamanya seperti highlander dalam film imajinasi manusia. Dan bagi manusia yang percaya Tuhan, kematian itu ada konsekuensinya. Ketika manusia mati maka di “alam sana” kita harus memberikan “laporan pertanggung-jawaban” atas apa saja yang telah kita buat ketika hidup.

Kalau dalam agama Islam disebutkan bahwa yang akan dinilai pada raport manusia adalah: siapa yang paling baik amalnya (pekerjaannya). Yang dinilai adalah proses pekerjaan kita, bukan hasil pekerjaan kita. Jadi bukan siapa yang hasil kerjanya paling hebat, tetapi siapa yang pekerjaannya paling baik. Orientasinya pada proses bukan hasil. Karena kalau “hasil kerja” semuanya sudah ditentukan oleh Tuhan.

Maka kita harus berusaha terus hidup dalam keadaan sedang melakukan pekerjaan yang baik dan benar. Sehingga ketika akhirnya ajal itu datang, baik dalam bentuk bencana alam, kecelakaan, atau penyakit, nilai “raport kehidupan” kita tetap berhak mendapat nilai A+ ataupun A lah… atau di bawah itu sedikit. Tapi harus tetap dalam kategori “lulus”.

Keadaan tanah di bawah Nusantara yang hobby bergoyang-goyang ini harus lebih menyadarkan kita untuk tetap menjadi orang yang baik dan benar di setiap kesempatan.


Ketiga: Sadar Keamanan

Sebenarnya bukan hanya Indonesia yang rawan gempa dan tsunami. Banyak negara lain yang juga seperti itu dan sukses menghadapinya. Contoh terbaiknya adalah Jepang.

Jepang adalah negara yang juga kerap “digoyang” gempa dan “disiram” tsunami. Bahkan mungkin lebih sering daripada Indonesia. Tetapi banyak hal baik yang bisa dicontoh dari sikap orang Jepang menghadapi “takdir” nya.

Keadaan negaranya yang seperti itu justru membuat bangsa Jepang kreatif menerapkan standar keamanan yang tinggi di negaranya terhadap ancaman bencana alam.

Pertama, edukasi pada masyarakatnya. Masyarakat Jepang sudah diajarkan tata-cara menghadapi keadaan darurat bencana sejak kecil, di sekolah2 dan di masyarakatnya. Latihan2 singkat menghadapi keadaan darurat diadakan secara rutin. Sarana pengamanan untuk keadaan darurat juga lengkap disediakan pemerintah. Seperti: tangga darurat, pemadam api, pemecah kaca, penyemprot air otomatis, alarm tsunami dan lain sebagainya. Semua dalam keadaan siap pakai.

Hal kedua yang dapat dipelajari dari Jepang adalah dengan kemajuan teknologinya mereka juga membuat bangunan, rumah, jembatan dan lain-lainnya yang tahan gempa. Walaupun tidak mungkin seratus persen anti-gempa akan tetapi kelenturan dari bangunan mereka telah mengurangi dampak dari gempa / tsunami pada korban.

Sikap ketiga ini (Sadar Keamanan) perlu ditegakkan di Indonesia pada seluruh lapisan masyarakat dengan dikomandoi oleh pemerintah. Karena tidak mungkin menerapkan standar pembangunan Gedung, Jembatan, Bandara yang tahan gempa tanpa ada penegakkan aturan dari pemerintah. Dan tidak mungkin juga membangun Gedung yang memenuhi standar anti gempa jika anggarannya masih dikorupsi. Atau mungkin jika anggaran kita memang kurang untuk membuat standar bangunan seperti di negara maju, bisa kita pakai “kearifan lokal”. Misalnya mulai kembali menggunakan disain2 arsitektur dan struktur peninggalan nenek moyang, seperti: bangunan rumah2 panggung tradisional dari bahan kayu dan bambu yang terbukti lebih lentur dan “ramah” terhadap lingkungan.

Demikian juga edukasi terhadap masyarakat untuk “sadar bencana”, perlu kerjasama yang baik antara Kementrian Pendidikan Nasional dan Pemerintah Daerah misalnya. Pelatihan menghadapi kondisi darurat bencana mesti rutin dilakukan di sekolah-sekolah dan di masyarakat seperti di Karang Taruna, Lingkungan RT / RW atau mungkin di rumah-rumah Ibadah (Masjid, Gereja, Pura dll).

Dengan begitu, mudah-mudahan hidup kita di Negeri Surgawi, Zamrud Khatulistiwa, pertemuan antara dua benua dan dua samudera, yang dihiasi dengan banyak gunung berapi serta ribuan pulau ini, tetap penuh kenyamanan dan keamanan

Jadi ... gak usah pindah ya Bro and Sis..! :-)