Ads 468x60px

Kamis, 27 Desember 2012

HABIBIE dan AINUN


Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu. Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya, dan kematian adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang. Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang, pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada. Aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.

Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik. Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.

Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya, kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.

Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
Selamat jalan, calon bidadari surgaku ….

B.J. Habibie untuk Ainun 

Rabu, 26 Desember 2012

Catatan dari GAZA 2

Dari Kinanah ke Bumi Al Quran

Oleh: Salim A. Fillah





“Dahulu kami meninggalkan Al Quran”; ujar seorang bapak dari keluarga Syamallekh di Masjid Syaikh ‘Ajleyn sebakda Shubuh ketika kami berhalaqah Quran; “Maka Allah pun mencampakkan kami dalam kehinaan di kaki penjajah Zionis. Kami terjajah, tertindas, & hancur; lalu mencoba mencari pegangan dalam gelap; harta, kedudukan, senjata. Tapi itu semua hanya membuat kami kian terpuruk. Kini kami kembali pada KitabuLlah; alhamduliLlah, kami bisa berdiri tegak, berwajah cerah, & bersemangat dalam perlawanan seperti kalian saksikan.”

Ya, kami memang menyaksikannya. Amat keliru jika membayangkan Gaza itu miskin, kumuh, sakit, sedih, & lesu. Yang kami saksikan di mana-mana sejak masuk dari Rafah adalah ketegaran, senyum yang mengembang, sambutan yang hangat; bahkan juga betapa rapi, bersih, hijau, jelitanya kawasan. Setidaknya bila dibandingkan tetangganya; Mesir si ibu peradaban.

Kami bersyukur memasuki Gaza ketika Presiden Mesir sudah bukan lagi Husni Mubarak. Al Akh Muhammad Mursi; jazahuLlahu khairan katsira. Menurut seorang Relawan yang pernah masuk Gaza tahun lalu; betapa terhina kita di hadapan petugas imigrasi Mesir kala itu. Sepuluh pos pemeriksaan oleh tentara sejak dari jembatan Terusan Suez hingga gerbang Rafah sudah menyulitkan dengan berbagai tanya & penggeledahan; belum lagi wajah yang suram, jelek, & mengejek itu. Dan akhirnya; keleleran bagai pencari suaka dengan jam-jam menunggu yang tak jelas di tengah tatapan angkuh & melecehkan wajah-wajah yang seakan begitu asing dari wudhu’ & membenci semangat berkeshalihan.

Al Akh Muhammad Mursi; jazahuLlahu khairan. Kini wajah tentara & petugas imigrasi berubah; bukan cuma cerah oleh wudhu’, sebagiannya malah berbekas sujud. Senyum bertebaran, dan ada yang berkata titip cinta untuk Gaza. Pos-pos pemeriksaan tentara tak lagi menghalangi; justru mereka menyediakan pengawalan 2 mobil patroli; yang meski justru agak memperlambat; tapi kami memahami maksud baiknya. Di gerbang imigrasi Mesirpun hanya soalan sederhana, “Sudah berkoordinasi dengan Gaza?” Saat dijawab ya; dia tersenyum dan membubuhkan capnya. Lega. AlhamduliLlah.

Maka dibanding Kairo yang hiruk pikuk, Gaza adalah kesyahduan. Dari Sinai yang gersang, Gaza adalah kesejukan. Alih-alih El ‘Arisy yang nyaman, Gaza adalah kemesraan. Sejak Rafah-Gush Katif-Khan Yunis-Deiril Balah-Gaza City-Jabaliya; yang tampak bukan keterjajahan melainkan perlawanan; bukan kesayuan namun kegairahan; bukan keputusasaan tapi cinta yang bermekaran. Di tanah istimewa ini lahir Al Imam Asy Syafi’i; mungkin di antara zaitun terbaik, anggur tersegar, farwalah yang manis & merah, serta angin Laut Tengah yang menderu gagah.

“Dulu kami meninggalkan Al Quran”, ujar si bapak dari keluarga Syamallekh itu. Perhatikan kembali kalimat-kalimatnya di awal tulisan ini yang mencerminkan pemahaman amat mendalam terhadap hakikat perjuangan. Apakah dia Syaikh, ‘Alim, Faqih? Bukan. Hanya seorang karyawan toko bersahaja. Bahkan bacaan Qurannya yang penuh semangat pun berulang-kali harus dibetulkan sebab terbiasa berdialek ‘ammiyah yang tak fasih. Tapi dari itu kita tahu; ideologi muqawamah telah tertanam ke segenap dada warga Gaza; pemimpin maupun jelata, kaya maupun papa, ‘ulama maupun biasa.

Dan kamipun menjumpai halaqah Quran itu di mana-mana; di tiap Masjid, sekolah, bahkan kantor, toko, & poliklinik. Di sebuah pusat layanan kanker yang sedang akan dikembangkan; ada ruangan penuh kanak-kanak. Bermuraja’ah dibimbing seorang perawat. Mas-ul Darul Quranil Karim, Syaikh Dr. ‘Abhdurrahman Jamal membawahi sebuah lembaga akbar yang mengelola tahfizh puluhan ribu orang; merawat hafalan; melaksanakan pengajian Tafsir, Sirah, & Hadits di berbagai Majelis; serta menyelenggarakan Daurah Shaifiyah yang alumninya kanak-kanak berhafizh lengkap dalam 2 bulan.
Apa pekerjaan utama para mujahid? Salah seorang komandan tempur berkata, “Mengaji! Kemudian mengaji! Kemudian mengaji!” Maka sungguh; senjata-senjata yang ditembakkan para pejuang Kataib ‘Izzuddin Al Qassam ke arah Zionis hanyalah kembang api perayaan dari sebuah kebangkitan yang telah tumbuh di dada orang-orang Gaza. Al Quran.

Gaza hari ini semarak oleh aneka gerai yang berebut perhatian; dari roti hingga mobil, dari es krim hingga meubel; tapi alhamduliLlah, keramaian terbesar tetap masjid-masjid kala shalat jama’ah dan halaqah Quran. Anak-anak kecil berlari di jalanan tanpa takut; cita-cita mereka semua sama & tak dapat ditawar; “Syahid fi sabiliLlah!” Bagaimana caranya? “Dengan Al Quran!”, jawab mereka. Sebab anggota Kataib ‘Izzuddin Al Qassam yang ribath di garis terdepan dipilih dari mereka yang paling mesra dengan Al Quran.

Ya Allah; jadikan kunjungan kami ke Gaza ini membuka pipa-pipa saluran keberkahan & kekudusan bumi serta penduduknya nan mulia ini untuk digerojokkan ke negeri kami. Mulia dengan Al Quran.

Salim A. Fillah
hamba Allah yang tertawan dosanya, santri yang tertahan kejahilannya, berharap ada manfaat dalam faqir & dha’ifnya
pelayan Majelis Jejak Nabi
 

Catatan dari GAZA 1

Sang Perdana Menteri




Oleh: Salim A. Fillah

Di antara selezat-lezat nikmat bagi orang beriman adalah berjumpa Allah; kemudian berjumpa orang-orang shalih..

Seorang yang berjumpa RasuluLlah, walau hanya sekali, dan beriman kepada beliau ShallaLlahu 'Alaihi wa Sallam mendapatkan gelar SAHABAT. Dengan gelar ini mereka disifati para 'Ulama Hadits sebagai Kulluhum 'Udul (semuanya adil) & didoakan oleh muslimin sepanjang zaman "RadhiyaLlahu 'Anhum" tanpa henti hingga hari kiamat.

Perlukah kita menyesal karena tak berjumpa RasuluLlah? Jikapun iya; yang paling besar sesalnya mungkin adalah para Tabi'in. Betapa tidak; mereka berjarak amat dekat; mungkin hanya beberapa kejap saja dari perjumpaan dengan Sang Nabi. Kata orang Jawa "kepancal sak thumlik". Dan mereka terluput. Aduhai kasihan. Dan kita menjumpai riwayat; pada mereka yang dicekam sesal itu Abud Darda' RadhiyaLlahu 'Anhu mengatakan, "Janganlah kalian berduka; sebab begitu banyak orang berjumpa Muhammad ShallaLlahu 'Alaihi wa Sallam lalu mereka dijungkalkan ke neraka karena keingkaran & keraguannya. Lebih utama bagi kalian untuk mensyukuri karunia Islam dan persaudaraan imani yang kalian rasakan."

Kita memang tak berjumpa RasuluLlah; tak beroleh gelar Sahabat; & tak didoakan insan secara khusus dengan "RadhiyaLlahu 'Anh". Tapi kita masih bisa berjumpa dengan orang-orang Shalih & kekasih-kekasihNya. Kebanyakan di antara para Wali Allah itu memang disembunyikanNya di antara ramai orang. Meraka adalah Atqiyaul Akhfiya'; yang datangnya tak disadari & perginya tak dirasakan; rekomendasinya tak dipakai & lamarannya ditolak; wujudnya tak menarik & penampilannya tak meyakinkan; tapi jika bersumpah dengan asma Allah, maka Allah pasti mengijabah doa mereka.

Para 'ulama bersepakat dari banyaknya keterangan dalam hadits; para Wali Abdal ummat ini yang berjumlah 30 atau 40 orang; yang dicinta Allah seperti Ibrahim; yang dengan sebab mereka Allah turunkan hujan & datangkan pertolongan; serta yang jika satu meninggal diganti oleh yang lain; mayoritas dari mereka adalah penduduk Negeri Syam. Mereka ada di antara orang-orang yang terpuji dalam hadits riwayat Muslim, "Akan senantiasa ada di kalangan ummatku segolongan orang yang senantiasa menzhahirkan kebenaran. Takkan membahayakan mereka orang-orang yang abai, tak peduli, & tak membantu; hingga datanglah hari kiamat."

Kami mengunjungi Gaza; satu bagian kecil di sudut selatan bentangan pantai timur Laut Tengah yang disebut Negeri Syam (Lebanon, Suriah, Palestina, Yordania) & berharap berjumpa dengan para kekasih Allah. Sebab jika perjumpaan dengan Nabi walau sekali begitu agung maknanya; perjumpaan dengan orang shalih pun insyaaLlah membersihkan hati kita, menyemangatkan 'amal kita, & membuat kita senantiasa berdzikir pada Allah. Ya; kami sadar; kebanyakan para kekasih Allah itu tersembunyi; kecuali sedikit. Tapi kamipun berharap-duga dari segala zhahirnya; Perdana Menteri Isma'il Haniyah yang akrab dipanggil Abul 'Abd termasuk yang sedikit; kekasih Allah yang ditampilkan di pentas dunia.

Kami hanya rombongan sederhana; tak dibersamai utusan resmi negara; tak jua punya jejaring yang memungkinkan bisa menghadap beliau dengan mudah. Harapan kami tak muluk. Berjumpa sekelebatan dan saling melambai dalam senyum pun cukuplah. Tapi Allah mengaruniai kami 3 kali pertemuan dengan beliau. Tiga-tiganya indah.

Kami memasuki Gaza pada hari Rabu petang 12 Desember. Kamis pagi kami bergegas menuju TK Bintang Al Quran yang menjadi amanah Sahabat Al Aqsha di Jabaliya Al Balad hingga Zhuhr pun tiba. Tiba-tiba pemandu kami mengatakan bahwa kakak dari besannya mengundang untuk makan siang. Kamipun datang ke sebuah rumah bersahaja namun kokoh berlantai dua. Bincang-berbincang sejenak, mengudap kue & kopi; lalu tiba-tiba berserilah wajah tuan rumah, "Abul 'Abd memenuhi undangan kita. Ini beliau datang!" Inilah perjumpaan kami pertama kali. Dia datang, memeluk & mencium kening kami dengan ramah, sapaannya penuh doa bertubi-tubi. Dan kamipun duduk untuk makan bersama beliau. Satu meja. Speechless. Sampai-sampai yang terfasih Bahasa Arabnya di antara rombongan pun tak bisa banyak berucap. Hanya berkaca-kaca. Sementara beliau terus tersenyum, menjawab tanya, & dari lisannya beruntaian asma Allah dalam puja-puji serta doa.

"Jalan menuju Masjidil Aqsha adalah ridha Allah Ta'ala. Dan ridha Allah dijemput dengan berjihad di jalanNya."

Hanya itu taujihnya. Ringkas dan jelas. Amat membekas.

Hari berikutnya Jumat, kami menyengaja menunaikannya di Masjid dekat rumah beliau. Ternyata beliau terjadwal Khathib & Imam di daerah lain. Usai shalat kamipun keluar dan berjalan menyusur kampung beliau yang padat & riuh. Mengamati sejenak aneka wajah yang memancarkan ketegaran, perjuangan, & pengorbanan; tiba-tiba sebuah rombongan bergerak dengan duyunan orang menyalami. Lagi-lagi. Itu Abu 'Abd! Dan beliau menuju ke arah kami. lagi-lagi bersalam & berpeluk dalam doa yang syahdu. Ternyata menurut seorang rekan relawan yang telah sebulan di Gaza; insyaaLlah kita akan jumpa Abu 'Abd di lorong-lorong sempit, pasar yang riuh, atau tepian pantai saat dia berolahraga pagi. Ah, betapa rawan keamanan seorang Perdana Menteri yang ditakuti Zionis ini jika begitu kesehariannya. Ketika kami sampaikan ini pada pemandu kami, dia tersenyum & berkata, "Bukankah memang syahid yang dicarinya?" 

Kami lalu sadar; tentu para pengawalnya tetap menunaikan tugas dengan disiplin & berkualitas. Itu tampak jelas. Tapi tak ada keangkeran dalam semuanya; senyum & keramahan Abul 'Abd mencairkan aura kental pengamanan ketatnya, tawakkalnya kepada Allah mengalahkan penyandaran keselamatannya pada manusia & benda-benda. Apakah Allah memang hendak menunjukkan pada kami bahwa pemimpin macam ini belum punah? Bahwa ia bukan hanya penghias halaman buku-buku sejarah & nostalgi para Khalifah.

Dan berikutnya kami diterima di rumahnya yang disulap jadi kantor sebab Gedung Kabinet telah rata dengan tanah. Sekali lagi hanya merinding dan berkaca-kaca mendengar sambutan & ungkapan terimakasihnya untuk "Saudara dari negeri yang paling jauh tempatnya; tapi salah-satu yang paling dekat di dalam hatinya.."

Salim A. Fillah
hamba Allah yang tertawan dosanya, santri yang tertahan kejahilannya, berharap ada manfaat dalam faqir dan dha'ifnya
pelayan Majelis Jejak Nabi

Senin, 19 November 2012

Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu

Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu

Taufik Ismail




Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh menderu,
serasa pasir dan batu bata dinding kamar tidurku bertebaran di pekaranganku,
meneteskan peluh merah dan mengepulkan debu yang berdarah.

Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat sebesar saputangan,
lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam file lemari kantor agraria,
serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan khatulistiwa, yang dirampas mereka.

Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah tanah
dan sepatu-sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita semua,
serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun silam,
di bawahnya ada kolam ikan yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi air mataku.

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu...


Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka,
menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma,
lalu dipatahi pergelangan tangan dan lengannya,
siapakah yang tak menjerit serasa anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka – tapi saksikan tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan rantai amat panjangnya,
pembelit leher lawan mereka,
penyeret tubuh si zalim ke neraka.

Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-Qassem, Harun Hashim Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu,
darah kami pun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi

‘Allahu Akbar!’
dan

‘Bebaskan Palestina!’


Ketika pabrik tak bernama 1000 ton sepekan memproduksi dusta, menebarkannya ke media cetak dan elektronika,
mengoyaki tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara, membangkangi resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia,
membantai di Shabra dan Shatila,
mengintai Yasser Arafat dan semua pejuang negeri anda,
aku pun berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia: doakan kolektif dengan kuat
seluruh dan setiap pejuang yang menapak jalanNya,
yang ditembaki dan kini dalam penjara,
lalu dengan kukuh kita bacalah

‘laquwwatta illa bi-Llah!’


Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu...

Tanahku jauh, bila diukur kilometer, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terdengar di telingaku.

1989

Minggu, 28 Oktober 2012

Kata Guru Mesir tentang Indonesia

Guru Mesir itu bercerita dengan bahasa campur-campur. Arab, Inggris, Indonesia. Tapi saya tulis di sini dengan Bahasa Indonesia saja ya, biar lebih mudah dipahami... ;-)

"Dulu ketika di Mesir, teman saya bilang, kamu ke Indonesia saja. Itu negara Islam yang terbesar"

Negara Islam? Bukan ustadz. Dasar negara kami bukan Islam. Dan juga tidak yang terbesar. Mungkin maksudnya penduduk Islamnya terbesar.

"Oh, iya. Mungkin maksudnya begitu. Jadi saya ya.. ke Indonesia. Karena ada tawaran jadi guru bahasa Arab di sini. Saya bawa istri dan anak2 saya ke sini. Wah, Indonesia itu negeri indah ya. Penduduknya juga ramah-ramah..."

Itu pernyataan standar ustadz... :-)

"Tapi saya lihat di sini bebas benar ya? Tadinya saya kira Indonesia itu mirip dengan di Mesir. Tidak banyak wanita jalan-jalan dengan "telanjang". Tidak bebas untuk beli minuman keras. Siaran televisinya sopan. Ehh, ternyata kebalikannya."



Nah, baru deh, komentar yang non-standar. Cukup nyelekit nih... ;-(
Enggak juga sih ustadz. Sekarang wanita berjilbab makin banyak dan boleh menjadi anchor / pembawa acara di TV. Di Indonesia juga banyak acara2 TV "Islami" seperti Mamah Dedeh, Yusuf Mansyur, Sinetron2 "Islami"...

"Apa dulu waktu jaman Suharto seperti ini juga? Kayaknya sekarang sudah terjangkit gerakan freedom ya? Semacam gerakan Liberalisme begitu?"

Waduh, jaman Suharto dulu kayak gini juga gak ya? Saya kok tidak terlalu ingat ya... Mungkin dari segi kebebasan tidak separah sekarang lah...

"Ada ulama enggak sih di Indonesia? Mestinya tugas ulama mengingatkan ummatnya. Saya kok tidak melihat peran ulama dipentingkan di Indonesia."

Tepat ustadz! Ulama memang tidak terlalu penting bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Kadang2 karena si Ulama-nya tidak menganggap penting masyarakat juga sih... ;-(

"Saya pernah malam2 lewat toko 7eleven. Kok disitu banyak anak2 muda yang lagi minum minuman keras ya? Emang enggak dilarang ya?"

Wah, wah, wah... di Mesir enggak ada yang kayak gituan ya, ustadz?

"Harusnya para Ulama mengingatkan Pemerintah untuk membuat aturan yang melarang minum dan memperjual-belikan minuman keras di tempat2 umum."

Ada enggak ya larangannya di Indonesia? Mestinya ada..., Perda atau apalah... Ataukah Perdanya melanggar HAM sehingga di-anulir?

"Yang lucu, ketika awal2 tinggal di Indonesia, saya lugu sekali. Suatu ketika saya mau sholat di mesjid. Karena istri saya sedang tidak sholat, maka saya tinggal dia duduk di taman sebuah mesjid. Kemudian saya masuk ke mesjid itu."

Hmmm, lalu ustadz...?

"Tapi tiba2 saya merasa ada seorang wanita yg mengikuti. Dia cuma memakai celana pendek dan rambutnya terurai lepas. Lho ini siapa? Kok masuk mesjid juga? Kenapa dia ngikutin saya? Kalau di Mesir, mesjid2 kami terpisah antara laki-laki dan perempuan. Sangat terpisah. Kalau di Indonesia tampaknya cuma dibatasi kain setengah badan saja ya?"

Aduh, mungkin si cewek itu mau ikut sholat ustadz? Jangan su'u-zhon gitu dong ustadz...

"Ya, ternyata wanita itu mau sholat. Dia mengambil mukenah dari lemari mesjid kemudian memakainya dan berdiri di belakang saya. Ohhh..., dia mau jadi ma'mum di belakang saya."

Nah, benar kan. Niat dia baik tuh ustadz...

"Akhirnya saya sholat jadi imam dia. Sampai selesai. Saya duduk berdzikir ba'da sholat. Eh, si wanita itu kok langsung berdiri dan langsung membuka lagi jilbabnya (mukenahnya maksudnya). Kemudian mengibas-ngibaskan rambutnya. Astaghfirullohal'adzhim... Dia masih di mesjid, tetapi mengapa sudah membuka bajunya sedemikan rupa? (Maksudnya tampil dengan celana pendek lagi) Saya jadi tidak bisa konsentrasi. Cepat-cepat saya selesaikan dzikir saya. Kemudian saya keluar mesjid, menemui istri saya dan cepat pergi dari situ."

Wah, ustadz... Afwan jiddan, maaf sekali ustadz atas ketidak-nyamanan tersebut. Ya, insya Allah pelan-pelan kita akan perbaiki deh ya... Mudah2an ustadz juga bisa membantu....

Kemudian saya dan ustadz guru Bahasa Arab dari Mesir itu tertawa bersama. Tetapi tawa saya rasanya kecut, sementara tawa ustadz terdengar prihatin...

Ummattii ... ummattiii.... (umatku... umatku...) begitu bisikan Kanjeng Nabi Muhammad shalalhu alaihi wassalammm....


Rabu, 06 Juni 2012

Lelaki yang Paling Baik

Ini ada kisah Rasululloh SAW yang sangat menggetarkan hati. Saya "copas" dari:
http://kisahislami.com/kenapa-pada-hari-ini-tidak-kau-berikan-gelas-itu/#comment-1483
Silakan surfing langsung ke alamat tersebut untuk membaca kisah-kisah lainnya.


Kenapa pada hari ini tidak kau berikan gelas itu ?

Pernah suatu hari Rasulullah SAW pulang dari perjalanan jihad fisabilillah. Beliau pulang diiringi para sahabat. Di depan pintu gerbang kota Madinah nampak Aisyah r.a sudah menunggu dengan penuh kangen. Rasa rindu kepada Rasulullah SAW sudah sangat terasa. Akhirnya Rasulullah SAW tiba juga di tengah kota Madinah. Aisyah r.a dengan sukacita menyambut kedatangan suami tercinta.

Tiba Rasulullah SAW di rumah dan beristirahat melepas lelah. Aisyah di belakang rumah sibuk membuat minuman untuk sang suami. Lalu minuman itupun disuguhkan kepada Rasulullah SAW. Beliau meminumnya perlahan hingga hampir menghabiskan minuman tersebut.

Tiba tiba Aisyah berkata, “Yaa Rasulullah biasanya engkau memberikan sebagian minuman kepadaku tapi kenapa pada hari ini tidak kau berikan gelas itu?”

Rasulullah SAW diam dan hendak melanjutkan meminum habis air digelas itu.

Dan Aisyah bertanya lagi, "Yaa Rasulullah biasanya engkau memberikan sebagian minuman kepadaku tapi kenapa pada hari ini tidak kau berikan gelas itu?”

Akhirnya Rasulullah SAW memberikan sebagian air yang tersisa di gelas itu. Aisyah r.a meminum air itu dan ia langsung kaget terus memuntahkan air itu.Ternyata air itu terasa asin bukan manis. Aisyah baru tersadar bahwa minuman yang ia buat dicampur dengan garam bukan gula. Kemudian Aisyah r.a langsung meminta maaf kepada Rasulullah.

Itulah sebagian dari banyaknya kemuliaan akhlak Rasulullah SAW. Dia memaklumi kesalahan yang dilakukan oleh istrinya, tidak memarahinya atau menasihatinya dengan kasar. Rasulullah SAW memberi kita teladan bahwasanya akhlak yang mulia bisa kita mulai dari lingkungan terdekat dengan kita. Sebuah hadits menyebutkan, “Lelaki yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya kepada istrinya”. Semoga kita diberi taufik untuk bisa meneladani akhlak Rasulullah SAW.


Rabu, 30 Mei 2012

Merpati (Jangan) Ingkar Janji

Baru kita akan sadari betapa luasnya Indonesia ini, setelah bisa meluangkan waktu untuk raun-raun / jalan-jalan ke berbagai pelosok negeri. Pekan lalu, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di bumi Nusantara sebelah Timur agak ke Selatan. Tepatnya di kota Bima, Pulau Sumbawa yang masuk dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Ada seorang ustadz penghafal Qur'an yang nikah di situ. Bukan di kota Bimanya sih..., tapi di sebuah desa bernama Desa Rupe, Kecamatan Langgudu, Kabupaten Bima.


Dari rumah, kami sudah berangkat qobla (sebelum) Subuh, kemudian sholat Subuh di Bandara Soetta untuk kemudian buru-buru check-in di counter Merpati Nusantara Airlines. Dengan mata agak sepet karena kurang tidur, pesawat akhirnya berangkat sekitar jam 6 pagi meninggalkan Jakarta.


Setengah jam kemudian di suatu tempat di udara entah di atas provinsi apa, tiba-tiba ada pengumuman:

"Perhatian pada seluruh penumpang, karena ada masalah teknis, pesawat akan kembali ke Bandara Soekarno-Hatta dalam waktu setengah jam lagi. Harap maklum"

Haah? Ada apa ini? Karena peristiwa pesawat Sukhoi nabrak Gunung Salak baru saja terjadi, maka semua penumpang nampak pasrah dan tidak protes jika pesawat memang harus balik kota dulu untuk perbaikan. Daripada jadi korban tragedi Sukhoi jilid 2?

Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Apalagi menunggunya lebih dari satu jam. Dan itulah yang terjadi ketika Merpati kami diperbaiki. Sudah terbayang bahwa kita semua akan telat sampai tujuan masing2. Padahal rute Merpati ini adalah Jakarta - Denpasar. Sesudah itu saya dan teman-teman akan melanjutkan ke Bima dengan pesawat lain. Adapun penumpang lain punya rute masing-masing yang berbeda beda. Ada yang akan meneruskan ke Labuanbajo, Flores, ada yang ke luar negeri yaitu ke Dili, Timor Leste. (Saya sering merasa bahwa Dili itu bukan "luar negeri". Soalnya dulu sebelum era Presiden Habibie, daerah itu kan Provinsi kita yang bernama Timor Timur.)

Ada rombongan artis dan pemain band yang ikut di pesawat itu. Salah satu yang kehadirannya cukup mencolok adalah Irwansyah. Mereka mau ngamen malam itu di Bima. Rombongan lain adalah klub free-style futsal yang mau eksebisi  futsal di depan Perdana Menteri Timor Leste. Penumpang lain punya kepentingan lain yang beragam, termasuk kami yang 'ceritanya' mau kondangan ke Bima (jauh bener yaa kondangannya..).

Setelah sedikit diberondong komplain dan pertanyaan dari penumpang-penumpang yang diburu waktu akhirnya pesawat berangkat juga pada sekitar pukul 9 pagi. Kali ini alhmadulillah, keadaan aman-aman saja. AC pesawat jadi dingin. Padahal pada penerbangan pertama AC pesawat kurang dingin, bahkan yang terasa cuma "fan" aja. Hal itu baru kita sadari setelah penerbangan kedua. Jangan-jangan karena AC rusak itulah kita balik ke Jakarta tadi. Bagaimana kalau bukan hanya AC yang terganggu, tetapi mesin pesawat juga rusak? Ngeri juga membayangkan hal itu.

Kita tiba di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali pada pukul 11 siang. Itu hari Jum'at dan mestinya yang muslim sudah siap-siap mau Sholat Jum'at. Tapi karena sedang jadi musafir maka alhamdulillah, syariat agama memberikan kemudahan untuk kita sehingga bisa nanti diganti sholat Zhuhur saja.

Tapi..., alamak... Musibah kedua datang. Pesawat Merpati "terusan" dari Denpasar ke kota-kota lain yang kami tuju sudah berangkat semua. Padahal konon di Jakarta tadi, Merpati sudah confirm bahwa penumpang dari Jakarta yang akan meneruskan penerbangan ke kota lain akan ditunggu oleh Merpati2 di Denpasar. Ternyata Merpatinya ingkar janji, tidak setia menunggu. Mereka sudah terbang semua. Saya sih bisa memaklumi, karena tentu saja penumpang asli Merpati dari Denpasar yang sudah menunggu sejak jam 7 pagi akan mencak-mencak kalau diminta cancel penerbangan sampai lima jam kemudian.

Dan sekarang yang mencak-mencak adalah rombongan Irwansyah, si penyanyi dan pemain sinetron itu. Bukan si Irwan sih yang marah, kalau dia tetap kalem jaga imej supaya citra dan kegantengan tidak berkurang :-). Manajernya lah yang naik pitam.

"Iya pak, karena pesawat lanjutan sudah tidak ada, maka Merpati akan mengganti rugi dengan menginapkan Bapak dan rombongan semalam di hotel di Bali," kata petugas Merpati.

"Oww, bukan soal hotel mbak. Tujuan kami ini bukan mau jalan-jalan ke Bali. Kami sudah teken kontrak show malam ini di Bima. Pokoknya kami harus tiba di Bima sore ini, bagaimanapun caranya. Dan itu tanggung-jawab Merpati."

"Kami sudah mencari maskapai lain Pak, tapi tidak ada lagi penerbangan ke Bima sore ini."

"Ya, pokoknya kami enggak mau tau. Carter pesawat kek, atau telpon itu Merpati yang ke Bima suruh balik lagi ke Denpasar!"

Wah!! Runyam deh urusannya. Para artis dan pemain band uring-uringan. Karena kalau tidak bisa hadir pada waktu yang ditentukan oleh event organizer di Bima, maka mereka akan kena sue (gugatan) dengan nilai yang cukup besar. Para pemain futsal juga marah, karena mereka tidak jadi main di depan Perdana Menteri Xanana Gusmao sore itu, walaupun masih bisa main di Dili keesokan harinya. Penumpang lain juga protes dengan alasannya masing-masing. Adapun kami, rombongan kondangan ke Bima, akhirnya pasang muka protes juga. Walaupun sebenarnya acara nikahnya masih besok sore dan tawaran bermalam di Bali cukup menggiurkan juga buat kami yang belum pernah ke Bali. Tapi demi solidaritas penumpang tentu saja kami harus ikut protes dong.

Negosiasi berjalan lama dan alot sekali. Apalagi kemudian ternyata ada Wakil Bupati Bima di antara penumpang yang punya bargaining power yang lebih kuat untuk melawan Merpati. Kata-kata yang terucap adalah: "Pokoknya kami harus sampai di tujuan sesuai waktu! Pokoknya Merpati harus tanggung-jawab! Pokoknya kami enggak mau tau! Pokoknya... Pokoknya... Pokoknya...!!!"

Dalam hati saya mereka-reka, ini enggak bisa selesai-selesai dong. Jelas memang sudah tidak ada pesawat lagi yang ke Bima, Labuanbajo atau Dili dari Denpasar saat itu. Termasuk pesawat carter juga sudah dihubungi tidak ada yang siap. Kecuali kalau yang memerintahkan adalah Presiden mungkin ya? Tidak ada moda transportasi lain dari Denpasar ke kota-kota tsb yang bisa memindahkan kita dalam waktu kurang dari lima jam. Perjalanan darat akan memakan waktu dua hari karena harus melewati dua laut yaitu yaitu dari Pulau Bali ke Pulau Lombok kemudian dari Pulau Lombok ke Pulau Sumbawa. Selain melewati daratan di pulau-pulau NTB yang tidak dijamin semulus di Jawa.

Waduh, saya pening juga menghadapi kengototan dari kedua belah pihak. Selain capek dan lapar, kondisi kami juga jadi mirip orang terlantar. Duduk di lantai Bandara Ngurah Rai bagian penerbangan domestik. (Kursi cuma sedikit dan kami kasih ke ibu-ibu dan para wanita saja). Sementera banyak orang termasuk turis-turis asing yang berlalu-lalang melewati kita.

Dan akhirnya waktulah yang menyelesaikan segalanya. Tawaran tertinggi dari Merpati adalah menginapkan penumpang pada hotel yang bagus di Denpasar dengan makan tiga kali ditanggung sepenuhnya. Ditambah dengan kompensasi uang sejumlah tiga ratus ribu per penumpang. Wah, Merpati menanggung rugi nih untuk penerbangan ini. Sebenarnya hal itu memang sudah diatur oleh Peraturan Menteri Perhubungan tahun 2008. Tapi jumlahnya tidaklah sebesar yang dijanjikan oleh Merpati saat itu. Akhirnya sebagian besar penumpang menerima untuk bisa bermalam di Denpasar dulu, kecuali rombongan artis. Konon mereka (para artis) langsung kembali ke Jakarta dengan maskapai lain saat itu juga. Entah berapa besar nilai kerugian yang harus dibayar Merpati pada mereka.


Dan demikianlah, kami rombongan kondangan ke Bima, akhirnya menginap di hotel Goodway, Denpasar, Bali. Hotelnya lumayan good lah... Dan pelayanannya juga baik dan penuh ramah tamah. Mungkin ini khas Bali ya? Masyarakatnya kelihatan sudah sangat "sadar wisata" sekali. Maksudnya sadar bahwa pariwisata adalah pemasukan utama mereka sehingga mereka profesional sekali dalam menghadapi tamu / turis baik wisatawan lokal maupun mancanegara.

Dan akhirnya saya rasanya harus berterima kasih juga kepada Merpati Nusantra Airlines. Sudah 'segitunya' berkorban untuk membayar kesalahannya dalam mengatur jadwal penerbangan. Dan blessing in disguise, kesalahan itu membuat saya merasakan menginap di Bali, pulau Dewata, walaupun cuma semalam. :-)





Jakarta, 30 Mei 2012
mtz 


 

Rabu, 23 Mei 2012

Buruk Sangka Berbuah Surga


Buruk Sangka 1

Ada seorang Bapak naik kereta api dengan empat orang anaknya yang masih kecil-kecil. Mereka berangkat dari Jakarta menuju ke Surabaya dengan kereta eksekutif. Sejak dari berangkat, keempat anaknya tidak henti-hentinya bermain, bercanda, berlari-lari sepanjang gerbong kereta. Sementara si Bapak kelihatan duduk terpekur seakan tidak peduli pada tingkah anak-anaknya yang cukup menggangu penumpang lain.

Akhirnya seorang wanita muda yang duduk tidak jauh dari si Bapak memberanikan diri menegur.

“Pak, maaf ya. Apakah tidak sebaiknya anak-anak Bapak disuruh duduk saja yang tenang di dekat Bapak? Suara mereka bising sekali Pak. Tingkah mereka terlalu over. Saya sangat terganggu….. Mungkin penumpang lain juga begitu. Cuma mereka sungkan saja tidak mau menegur Bapak…… Kok Bapak tidak peduli begitu sih? Kalau enggak bisa ngurus anak, ya sebaiknya tidak usah punya anak,” demikian sergah si wanita muda pada si Bapak, dengan suara tinggi dan nada gusar. Penumpang lain mendengarkan. Sebagian bergumam tanda setuju pada si wanita.

Si Bapak mengangkat wajahnya sejenak menatap wanita itu sebentar. Hanya lima detik, untuk kemudian kembali terpekur mengalihkan pandangannya lagi ke ujung sepatunya. Sambil menghela nafas ia berkata, 

“Yah, tadinya memang saya mau melarang anak-anak saya bersenang-senang seperti itu… “

Kemudian si Bapak diam lagi, terpekur kembali, agak lama.

“Kalau Bapak tidak mau melarang, biar saya saja yang melarang mereka,” potong seorang ibu yang tidak sabar menunggu respon lanjutan dari si Bapak.

“Jangan Bu,” cegah si Bapak. Sekali lagi si Bapak menghela nafas dan kemudian melanjutkan dengan kata-kata berikut.

“Saya cuma tidak tega saja menghilangkan keceriaan anak-anak saya. Mereka baru pertama kali naik kereta api. Ini hari pertama saya melihat mereka tertawa, sejak pekan lalu. Istri saya, ibu mereka, baru saja meninggal dunia sepekan yang lalu. Saya mau membawa mereka ke rumah neneknya di Surabaya. Mudah-mudahan di sana mereka bisa melupakan duka-cita keluarga kami yang berat ini.”

Tiba-tiba gumaman penumpang berhenti. Hening. Hanya terdengar tawa ceria empat orang anak-anak yang berlari di lorong kereta. Rasa sesal menyeruak ke dalam hati para penumpang yang tadinya berburuk sangka pada sang Bapak. Si wanita muda terdiam tidak tahu harus berkata apa. Beberapa ibu menyembunyikan matanya yang membasah.

Berburuk sangka pada sang Bapak telah menimbulkan rasa sesal pada sebagian penumpang kereta api eksekutif itu. Terutama pada si wanita muda. “Mengapa aku langsung menyerang dia dengan kata-kata kasar tadi, tanpa tahu duduk persoalannya terlebih dulu?” pikirnya penuh rasa bersalah.


Buruk Sangka 2

Berprasangka buruk pada orang lain itu pada umumnya tidak baik. Seperti contoh pada cerita pertama (Buruk Sangka 1). Buruk sangka yang berakhir pada penyesalan. Buruk sangka atau su’u zhon, terutama akan menjadi sangat buruk jika targetnya adalah saudara atau sahabat kita. Masa’ ente enggak percaya sih sama saudara sendiri? Ente enggak punya trust banget sama ane?!

Buruk sangka akan amat sangat buruk jika targetnya adalah Sang Maha Pencipta, alias Allah SWT. Yang dimaksud dengan su’u zhon pada Allah contohnya adalah jika kita banyak mengeluh dan merasa bahwa Allah telah berlaku tidak adil pada kita. Kalau kita dapat musibah sedikit saja, sudah merasa bahwa kita adalah orang paling sial sedunia. Biasanya kemudian timbul pertanyaan: “Kenapa saya? Kenapa saya mendapat musibah ini? Why me? Tuhan benar-benar tidak adil!”

Konon di negeri Paman Sam pernah ada tuntutan tidak masuk akal yang didaftarkan ke pengadilan sipil setempat oleh seorang preman. Objek yang dituntutnya adalah: Tuhan. Isi tuntutan: bahwa Tuhan telah berlaku tidak adil dan sewenang-wenang dengan menggariskan takdir Mister Preman tadi menjadi orang jahat, tidak pernah kaya dan selalu ketiban sial. Tuntutan yang benar-benar konyol. Dalam bahasa kita di Indonesia, itu adalah buruk sangka yang sangat keterlaluan terhadap Allah SWT. Untungnya tuntutan itu tidak dipenuhi oleh Pengadilan AS. Mungkin bisa meletus Perang Dunia ketiga jika tuntutan gila itu dipenuhi ;-)

Cerita sebaliknya adalah dari Menteri Kesehatan kita, almarhumah ibu Endang Sri Rahayu. Ketika beliau diketahui menderita kanker paru ganas, tidak terlihat rasa kecewa atau marah dari ibu Endang pada Allah SWT. Justru beliau ber-husnu-zhon (bersangka baik) bahwa pasti Allah SWT memperlihatkan hikmah-Nya. Beliau justru membandingkan kenikmatan yang telah diterimanya selama ini, seperti memiliki keluarga yang pintar, baik dan penuh cinta, harta yang cukup, ilmu yang tinggi, dengan cobaan ‘kecil’ yang dideritanya. Menurut beliau jauh lebih besar kenikmatan yang telah dia terima daripada keburukan yang menimpanya. Sehingga dengan pasrah dan tawakkal, ibu Endang menerima takdir bahwa paru-parunya menjadi tempat bersemayam virus kanker yang ganas.

Itulah salah satu contoh husnu-zhon pada Allah SWT yang patut ditiru oleh semua orang. Setelah kita melakukan ikhtiar dengan optimal, maka kita bersangka baik bahwa Allah SWT akan menggariskan takdir-Nya pada kita dengan sifat ke-Maha Besar-annya. Dan itu jalan hidup kita yang terbaik.

Buruk Sangka 3

Tapi ternyata ada buruk sangka (su’u zhon) yang dianjurkan. Yaitu berburuk sangka pada diri kita sendiri. Maksudnya seperti apa?

Su’u zhon yang dimaksud di sini adalah buruk sangka terhadap amal-amal yang telah kita lakukan. Kita dianjurkan memandang remeh pada perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan. Ada banyak orang yang berbuat lebih baik dari kita. Amal-amal sholeh kita itu tidak ada artinya dibandingkan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan. Pahala yang mungkin kita dapat dari amalan kita masih jauh dari cukup untuk memasukkan kita ke surga. Demikian seterusnya, kita bersangka buruk bahwa amal-amal kita belum banyak dan belum tentu diterima, kita kurang ikhlas, kerja kita kurang optimal. Dan lain sebagainya.

Dengan demikian kita terpacu untuk terus memperbaiki amal-amal kita dan terus menambah perbuatan-perbuatan baik kita.

Ketika Abu Bakar Shiddiq ra dipuji orang karena khutbahnya yang bagus, beliau menjadi sangat bersedih. Karena beliau merasa bahwa amal-amalnya masih jelek, jauh di bawah daripada yang disangkakan orang kepadanya. Sehingga beliau berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka persangka-kan. Dan ampunkanlah keburukan-keburukanku yang tidak mereka ketahui.”

Suatu ketika turun Al-Qur’an surat Al-Mu’minuun ayat 60, yaitu:


Yang artinya: “Dan orang-orang yang memberi dengan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.”

Lalu Aisyah ra bertanya pada Rasululloh SAW, “Mengapa mereka merasa takut? Apakah karena mereka orang-orang yang mencuri, berzina, meminum khamr? Sehingga mereka merasa takut pada Allah?”

Rasululloh SAW menjawab, “Bukan wahai putri As-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang mendirikan sholat, berpuasa, bersedekah. Tetapi mereka takut bahwa semua amalnya itu tidak diterima oleh Allah SWT. Sehingga mereka selalu bersegera untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Dan merekalah orang-orang yang akan segera menerima kebaikan itu.”

Jadi orang-orang yang digambarkan di surat Al-Mu’minuun ayat 60 tersebut adalah orang-orang yang ber-sangka buruk terhadap amal-amalnya. Mereka sudah banyak melakukan sholat, puasa, sedekah. Akan tetapi mereka menganggap amal-amal itu masih sangat sedikit. Mereka ber-su’u zhon bahwa amal-amal itu belum dapat mengangkat mereka ke surga. Akibatnya mereka terus berupaya untuk menambah amal-amal mereka dengan senantiasa bersegera untuk melakukan kebaikan kebaikan lain dimanapun dan kapanpun. Dan Rasululloh SAW menjanjikan kebaikan-kebaikan yang banyak untuk mereka. Dan mereka akan kembali kepada Allah SWT dengan membawa amal-amal kebajikan yang banyak.

Itulah dia buruk sangka yang berbuah surga. Buruk sangka terhadap amal-amal kita sendiri. Semoga kita terus ber-fastabiqul khoirot, berlomba-lomba mengerjakan kebaikan-kebaikan karena amal-amal kita memang senantiasa tidak cukup untuk membawa kita ke surga jannatuna’im. Kecuali jika Allah SWT memberikan Rahmat-Nya pada kita. Wallahu’alam.