Kesombongan hati
itu kadang-kadang tidak kelihatan tapi dapat dirasakan. Dan di tempat suci, kesombongan
akan mendapatkan ganjarannya.
Saat itu saya sudah sekitar tujuh kali pergi ke Tanah Suci, Makkah dan Madinah. Dua kali ibadah haji dan selebihnya ibadah Umroh. Secara pelan tapi nyata setan mengarahkan saya menjadi sombong dan tinggi hati, karena merasa sudah sering mengunjungi Al Haromain (dua masjid suci). Astaghfirullahal adzim….
Tahun lalu di Ibadah
Umroh yang terakhir, saya kena batunya. Seperti biasa jama’ah berziarah ke
Masjid Nabawi di Madinah terlebih dahulu sebelum melakukan Umroh ke Makkah.
Kami bersama rombongan Jama’ah Umroh Pesantren Tahfizh Al Qur’an “Griya Qur’an”.
Santri-santri mereka yang bisa menyelesaikan hafalan Qur’an sampai suatu
standar tertentu mendapatkan hadiah Subsidi Umroh.
Di dalam Masjid Nabawi terdapat makam Yang Mulia Baginda Nabi Muhammad Shallaallahu 'Alaihi Wa Sallam beserta dua
sahabatnya yaitu: Abu Bakar Shiddiq dan Umar bin Khattab. Tempat ini merupakan tempat
ziarah utama di Madinah. Sehingga setiap kali orang sampai di Madinah, maka
yang mereka cari pertama kali adalah berziarah ke makam tersebut. Dan biasanya
dilakukan setelah sholat jama’ah di Masjid Nabawi.
Sesampainya di hotel
di Madinah, para jama’ah sudah heboh mau cepat-cepat sholat Ashar di Masjid Nabawi,
dengan harapan segera dapat berziarah ke Makam Nabi Muhammad SAW. Terutama para
santri hafizh Qur’an yang masih muda-muda. Ini merupakan pengalaman pertama mereka
berkunjung ke Masjid Nabawi.
Saya, sebagai
orang yang sudah “berpengalaman”, cuma senyum-senyum saja. Saya ikut sholat jama’ah
Ashar ke Masjid Nabawi tapi dalam hati sudah berniat untuk langsung balik ke
hotel setelah selesai sholat. Saya berpikir “ahh… gue udah sering ke Makam Nabi
SAW, besok aja deh… masih capek nih”…
Sehingga
kemudian ketika para santri dan jama’ah Umroh rombongan kita pergi berduyun-duyun
antri ke area Raudhoh (area “Taman Surga” di Masjid Nabawi, disamping Makam Nabi
Muhammad SAW), saya sendirian menyelinap pulang ke hotel.
Ketika maghrib
datang, kita kembali sholat Jama’ah Maghrib dan Isya ke Masjid Nabawi. Antara Maghrib
dan Isya ada yang pulang dulu ke hotel untuk makan malam dan ada yang tetap di masjid
untuk mengikuti ceramah agama yang disediakan di beberapa titik area masjid
dalam berbagai bahasa. Saya memilih untuk “stay” di masjid untuk mendengar
ceramah yang berbahasa Indonesia. Saat itu penceramahnya adalah ustadz
Firanda Andirja yang sering muncul di Radio Rodja.
Dalam benak saya tercetus
niatan untuk berziarah ke Makam Nabi Muhammad saw setelah usai sholat Jama’ah
Isya. Tapi kemudian setelah sholat Isya selesai pikiran “sesat” kembali
dihembuskan ke dalam kepala saya oleh syaithonirrojim. Tiba-tiba saya merasa
lapar sehingga akal bulus saya memakai alasan “lapar” itu untuk tidak segera
menziarahi Makam Nabi Muhammad saw ba’da Isya. Padahal kemudian di hotel, menu malam itu juga tidak bagus-bagus amat. Di Hotel malah justru saya mendengar celotehan dari jama’ah Umroh tentang pengalaman pertama mereka
berziarah ke Makam Rasulullah SAW. Pada umumnya mereka bercerita betapa gemetarnya
hati mereka dengan kerinduan yang dalam ketika berada pada jarak yang sangat
dekat dengan makam junjungan kita, idola terbaik, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam.
Akhirnya malam
itu saya tidur dengan agak cuek dan tidak lagi memikirkan tentang Makam Nabi
Muhammad SAW. Rencana beberapa jama’ah untuk pergi lagi ziarah ke Makam setelah
sholat Qiyamullail tidak terlalu saya hiraukan. Saya senantiasa berpikir… “ah…
itu bisa kapan saja kok… masih ada waktu…”. Dan akhirnya Subuh tiba, dimana
kita semua pergi ke Masjid Nabawi kembali untuk menunaikan sholat Subuh berjama’ah.
Sholat di Masjid Nabawi tentu tidak boleh terlewatkan, mumpung sudah ada di
Madinah. Sholat di Masjid Nabi ini pahalanya 1000 kali lipat dari sholat di
masjid lain. Yang bisa mengalahkan hanya Masjidil Haram dan Masjidil Aqsho
saja.
Anehnya ketika
akan, sedang, dan setelah Sholat Subuh di Masjid Nabawi saat itu, saya tidak
lagi punya ingatan untuk ziarah ke Makam Nabi Muhammad SAW. Yang saya ingat-ingat justru
nomor tempat loker sandal saya. Sebenarnya bukan loker tapi sekedar rak saja.
Yang berjejer sangat banyak di sisi-sisi shaf sholat. Tapi jumlah rak ada
ratusan bahkan ribuan. Karena jama’ah di masjid sebesar Masjid Nabawi ini
adalah puluhan ribu. Kalau kita tidak ingat nomor rak sandal akan sangat
merepotkan, susah untuk mendapatkannya kembali.
Demikianlah,
saya hafalkan nomor rak itu. Kalau tidak salah nomor 132. Dalam benak saya
terujar, “Ok, habis Sholat Subuh, dzikir dan tilawah, aku bisa cepat ambil
sendal dan terus pulang ke hotel.., siiiplah…”.
Dan datanglah
keajaiban itu… Saya tidak bisa menemukan sandal saya. Angka 132 yang sudah
tertancap di kepala saya ada tertera di nomor rak sandal. Tetapi sandal saya
tidak ada. Saya jadi ragu… apakah 132 atau 213 atau 312…? Saya susuri rak-rak
sandal di sepanjang barisan shaf masjid yang luar biasa besar tersebut.
Berpapasan dan bertabrakan dengan ratusan orang jama’ah dari segala ras dan suku
bangsa. Tidak juga saya temukan. Padahal jelas-jelas di dalam kepala saya
tertanam angka 132 dan gambaran dari rak itu beserta sandal saya yang
bertengger di atasnya.
Saya terus
mencari-cari sandal ke dalam masjid, berpapasan dengan orang yang seliweran
dengan urusannya masing-masing. Dan saya merasakan makin lama orang-orang di
sekitar saya kok makin berdesak-desakan… Saya istighfar… Ya Allah ada apa
dengan saya? Saya merasa ada yang aneh… Saya seperti terbawa gelombang manusia,
saya tidak lagi berjalan sesuai dengan arah yang saya inginkan. Tapi saya merasa
dibawa oleh gelombang manusia yang besar. Saya istighfar, saya bertasbih, saya
bertahlil dan berdoa… Ya Allah … makin lama saya makin menyadari bahwa gelombang
ini adalah antrian jama’ah yang akan menuju Raudhoh… Taman Surga tempat Makam Nabi
Muhammad SAW dan dua sahabatnya berada…. Saya gugup, saya istighfar dan saya
menangis… yaa Allah… yaa Rasulullah… Ampuni aku Yaa Allah Yaa Rasululloh… Ampuni
hamba-Mu yang sombong dan arogan ini yaa Allah… Ampuni hamba-Mu yang tidak
punya sopan santun dan tata krama sama sekali pada Rasul-Mu ini yaa Allah…
Saya menangis, saya istighfar, saya ucapkan dua kalimat syahadat berkali-kali sambil terus ikut arus antrian manusia yang menuju Radhotul Jannah, Taman Surgawi… Dan akhirnya giliran saya bersama sekitar seratus manusia diberi kesempatan masuk ke Raudhoh, area tepat di samping Makam Rasulullah SAW, tempat kita bisa sholat, berdoa, bermunajat sepuasnya mengharap hidayah, ridho-Nya dan meminta ampunan Allah SWT serta melepas rindu pada kekasih kita, manusia tersuci sepanjang jaman, Nabi Muhammad SAW. Saya sholat sunnah di situ sambil menangis sejadi-jadinya. Saya tersungkur, terbetot oleh perasaan berdosa yang amat sangat. Saya memohonkan ampun atas semua dosa-dosa saya, terutama terhadap kesombongan saya yang luar biasa dua hari itu… Saya tersungkur di hamparan karpet Raudhoh Bersama ratusan jama’ah sebelum akhirnya dihalau keluar oleh Askar (petugas Masjid) untuk memberi kesempatan gelombang jama’ah berikutnya. Ketika meninggalkan Raudhoh, kembali lagi saya menangis sesenggukan berjalan di depan Makam Rasululloh SAW, Makam Abu Bakar dan Makam Umar bin Khattab sambil terus bershalawat pada Nabi...
Saya keluar dari
pintu Masjid Nabawi dekat Kubah Hijau. Kemudian saya masuk masjid lagi dari
pintu sisi lain yang agak jauh untuk pulang ke hotel, karena lebih mudah dan lebih enak ke arah
hotel melalui bagian dalam masjid.
Saya kembali berpapasan
dengan banyak jama’ah dari berbagai ras dan suku bangsa dengan urusannya
masing-masing. Akan tetapi tujuan utama mereka ke Masjid Nabawi ini tentulah
sama, yaitu: menziarahi Makam Baginda Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Secara naluriah
saya menuju ke deretan rak-rak sandal, mencari rak sandal nomor 132. Hey, dia
ada di situ… Sandal saya. Bertengger dengan anggun di atas rak. Saya ambil sandal
saya seraya mengucap tahmid: Alhamdulillah. Saya menuju pintu keluar masjid
yang searah dengan hotel saya. Di luar pintu, saya pakai sandal saya dan berjalan
kaki pulang ke hotel.
0 komentar:
Posting Komentar