Ads 468x60px

Minggu, 11 Oktober 2015

Lady Gaga Masuk Desa

Penerbangan dari Denpasar menuju Bima hanya bisa menggunakan pesawat kecil. Merpati menyediakan pesawat dengnan 14 baris kursi. Masing2 baris terdiri dari 4 seats. Jadi kapasitas pesawat komersil kecil tersebut adalah 56 kursi, mirip dengan bus pariwisata yang sering saya carter Jakarta - Puncak.

Pesawat baling-baling itu akan menerbangi Selat Lombok (antara Pulau Bali dan Pulau Lombok) dan Selat Alas (antara Pulau Lombok dengan Pulau Sumbawa). Kemudian pesawat terus "berlayar" sampai ke ujung Timur Pulau Sumbawa yaitu kota Bima.

Kita mendarat di Bandara Bima yang bernama Bandar Muhammad Salahudin. Bandaranya kecil saja sebagaimana bandara-bandara kota kecil di tanah air. Terlihat beberapa turis bule yang sama2 terbang dari Bali dengan membawa papan selancar yang besar2. Kelihatannya di Bima ada pantai yang bagus untuk berselancar nih...

Tempat pesta walimahan Ustadz Alamsyah bukan di kota tetapi di desa yang cukup jauh dari kota Bima. Sebenarnya jarak tempuh dari kota ke desa Rupe tempat walimahan bisa ditempuh dalam satu jam. Tetapi - atas kehendak Allah - malam sebelumnya ternyata terjadi banjir besar di Bima, konon banjir paling besar yang pernah terjadi di kota itu. Sehingga ada jembatan vital yang menghubungkan kota Bima dengan desa-desa di Kabupaten Bima yang hancur. Terpaksa perjalanan dari kota ke desa harus melewati jalan "bawah" yang lebih jauh. Waktu tempuhnya jadi dua setengah jam. Tetapi kondisi jalannya relatif bagus dengan melewati lembah pegunungan pada awalnya untuk kemudian menyusuri pantai pada akhirnya.

Pemandangannya? Jangan ditanya! Bagi "orang kota" kayak saya (sok orang kota nih) ada lokasi-lokasi yang benar-benar seperti surga. Salah satunya adalah ketika kita melewati lembah yang isinya adalah sawah luas yang menghijau. Kami seperti berada di dalam mangkuk raksasa. Pinggir "mangkuk"nya adalah pegunungan dan perbukitan, tetapi dasar mangkuk itu adalah dataran melandai yang diisi dengan sawah yang subur menghijau. Sementara hasil-hasil kebun ditarik dengan kereta kuda tampak di beberapa tempat. Subhanallah! Rasanya saya ingin melompat ke luar mobil dan tinggal di situ berlama-lama.

Ketika meyusuri pantainya pemandangan juga lumayan indah, tetapi tidak secantik pantai-pantai di Sulawesi. Apalagi karena jalan yang dekat pantai banyak yang rusak atau memang belum jadi jalan. Masih jalan sirtu (pasir batu) yang bikin ban mobil jadi tersiksa.

Di kanan kiri jalan sepanjangan perjalanan mulai banyak terlihat rumah-rumah panggung. Juga tampak kehidupan masyarakat Bima dengan pasar, sekolah, deretan rumah-rumah dan mesjid. Beberapa mesjid tampak dalam "pembangunan" yang artinya hanya terlihat tiang-tiang dan tembok-tembok setengah jadi.


0 komentar:

Posting Komentar