Ads 468x60px

Rabu, 03 Oktober 2018

Hidup di Atas Lempengan Bumi yang Bergerak-gerak…

Pertama-tama saya harus sampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya pada para korban musibah gempa, tsunami, tanah longsor, banjir lumpur di Lombok, Palu, Donggala, dan semua tempat di Indonesia ini. Semoga para korban diberi kesabaran atas berbagai cobaan tersebut. Dan juga mudah2an kita semua tetap memiliki semangat yang besar untuk bangkit dari pukulan dahsyat ini menuju kehidupan yang lebih baik.


Jadi, ternyata kita semua, orang Indonesia, hidup di tanah yang rawan gempa. Tanah Air kita terletak di pertemuan antar dua benua dan dua samudera. Betapa indahnya! Tetapi juga betapa besar resikonya! Karena artinya: negara kita terbentuk dari pertemuan lempengan-lempengan kerak bumi yang luar biasa besarnya di dasar bumi sana. Dan mereka kerap bergerak-gerak mencari keadaan yang lebih stabil dari waktu ke waktu.


Gerakan kecil lempengan Pak Bumi yang sudah mulai tua itu, bisa bermakna: gempa bumi besar bagi manusia yang tinggal di permukaannya. Ditambah dengan tsunami jika gesekan itu berada di dasar lautan.

Apa yang harus kita lakukan? Lari, pindah, hijrah ke negara lain yang lebih aman? Atau tetap tinggal diam di sini, di Tanah Air tercinta? Karena hujan batu di negeri sendiri masih lebih baik daripada hujan emas di negeri orang?

Saya memilih yang kedua. Tetap tinggal di tanah tumpah darah Indonesia, tempat saya dilahirkan. Dan tempat saya menghembuskan nafas terakhir kelak, jika Tuhan menghendaki. Akan tetapi… dengan beberapa persyaratan, yaitu:

1.     Saya harus menjadi orang yang suka menolong dan bisa membuat orang lain bahagia.
2.     Saya berusaha keras untuk selalu menjadi orang yang baik dan benar. Senantiasa dalam keadaan terhubung baik dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
3.     Sadar keamaan diri dan lingkungan setiap saat. Safety First!


Pertama: Bersifat Penolong

Apa yang kita lihat saat ini adalah bagaimana masyarakat yang tidak terkena musibah tergerak untuk datang memberi pertolongan atau memberi sumbangan dan bantuan kepada korban gempa, tsunami dan lain-lain itu. Walaupun dari sekian banyak “penolong” tersebut, terlihat juga mana yang tulus, setengah tulus, sepertiga tulus, atau kurang tulus. Yang cuma untuk pencitraan dengan membawa banyak wartawan. Atau sekedar selfie dan wefie. Bahkan masih ada juga yang cuek saja. Tidak peduli pada orang lain.

Ketika kita memposisikan diri sebagai korban, maka akan terasa sekali bahwa kita sangat butuh pertolongan orang lain, dari siapa saja. Dan pada umumnya orang akan lebih cepat dan lebih ikhlas menolong manusia-manusia yang dikenalnya sebagai “orang baik”. Salah satu ciri orang baik adalah yang dermawan dan ringan tangan dalam arti suka menolong orang lain. Jika dikenal masyarakat sebagai “orang baik” di keadaan normal maka ketika bencana datang kepada kita, besar harapan bahwa orang lain akan ingat kebaikan kita dan segera memberi pertolongan pada kita.


Kedua: Menjadi Orang Baik dan Benar

Bencana alam yang bertubi-tubi menimpa negara kita cukuplah sudah untuk menyadarkan diri kita akan kecilnya manusia itu di hadapan Alam Semesta. Lebih tepatnya: betapa sangat kecil manusia berhadapan dengan Kekuatan Tuhan Sang Maha Pencipta.

Kita semua pasti akan mati. Tidak ada yang bisa hidup selama-lamanya seperti highlander dalam film imajinasi manusia. Dan bagi manusia yang percaya Tuhan, kematian itu ada konsekuensinya. Ketika manusia mati maka di “alam sana” kita harus memberikan “laporan pertanggung-jawaban” atas apa saja yang telah kita buat ketika hidup.

Kalau dalam agama Islam disebutkan bahwa yang akan dinilai pada raport manusia adalah: siapa yang paling baik amalnya (pekerjaannya). Yang dinilai adalah proses pekerjaan kita, bukan hasil pekerjaan kita. Jadi bukan siapa yang hasil kerjanya paling hebat, tetapi siapa yang pekerjaannya paling baik. Orientasinya pada proses bukan hasil. Karena kalau “hasil kerja” semuanya sudah ditentukan oleh Tuhan.

Maka kita harus berusaha terus hidup dalam keadaan sedang melakukan pekerjaan yang baik dan benar. Sehingga ketika akhirnya ajal itu datang, baik dalam bentuk bencana alam, kecelakaan, atau penyakit, nilai “raport kehidupan” kita tetap berhak mendapat nilai A+ ataupun A lah… atau di bawah itu sedikit. Tapi harus tetap dalam kategori “lulus”.

Keadaan tanah di bawah Nusantara yang hobby bergoyang-goyang ini harus lebih menyadarkan kita untuk tetap menjadi orang yang baik dan benar di setiap kesempatan.


Ketiga: Sadar Keamanan

Sebenarnya bukan hanya Indonesia yang rawan gempa dan tsunami. Banyak negara lain yang juga seperti itu dan sukses menghadapinya. Contoh terbaiknya adalah Jepang.

Jepang adalah negara yang juga kerap “digoyang” gempa dan “disiram” tsunami. Bahkan mungkin lebih sering daripada Indonesia. Tetapi banyak hal baik yang bisa dicontoh dari sikap orang Jepang menghadapi “takdir” nya.

Keadaan negaranya yang seperti itu justru membuat bangsa Jepang kreatif menerapkan standar keamanan yang tinggi di negaranya terhadap ancaman bencana alam.

Pertama, edukasi pada masyarakatnya. Masyarakat Jepang sudah diajarkan tata-cara menghadapi keadaan darurat bencana sejak kecil, di sekolah2 dan di masyarakatnya. Latihan2 singkat menghadapi keadaan darurat diadakan secara rutin. Sarana pengamanan untuk keadaan darurat juga lengkap disediakan pemerintah. Seperti: tangga darurat, pemadam api, pemecah kaca, penyemprot air otomatis, alarm tsunami dan lain sebagainya. Semua dalam keadaan siap pakai.

Hal kedua yang dapat dipelajari dari Jepang adalah dengan kemajuan teknologinya mereka juga membuat bangunan, rumah, jembatan dan lain-lainnya yang tahan gempa. Walaupun tidak mungkin seratus persen anti-gempa akan tetapi kelenturan dari bangunan mereka telah mengurangi dampak dari gempa / tsunami pada korban.

Sikap ketiga ini (Sadar Keamanan) perlu ditegakkan di Indonesia pada seluruh lapisan masyarakat dengan dikomandoi oleh pemerintah. Karena tidak mungkin menerapkan standar pembangunan Gedung, Jembatan, Bandara yang tahan gempa tanpa ada penegakkan aturan dari pemerintah. Dan tidak mungkin juga membangun Gedung yang memenuhi standar anti gempa jika anggarannya masih dikorupsi. Atau mungkin jika anggaran kita memang kurang untuk membuat standar bangunan seperti di negara maju, bisa kita pakai “kearifan lokal”. Misalnya mulai kembali menggunakan disain2 arsitektur dan struktur peninggalan nenek moyang, seperti: bangunan rumah2 panggung tradisional dari bahan kayu dan bambu yang terbukti lebih lentur dan “ramah” terhadap lingkungan.

Demikian juga edukasi terhadap masyarakat untuk “sadar bencana”, perlu kerjasama yang baik antara Kementrian Pendidikan Nasional dan Pemerintah Daerah misalnya. Pelatihan menghadapi kondisi darurat bencana mesti rutin dilakukan di sekolah-sekolah dan di masyarakat seperti di Karang Taruna, Lingkungan RT / RW atau mungkin di rumah-rumah Ibadah (Masjid, Gereja, Pura dll).

Dengan begitu, mudah-mudahan hidup kita di Negeri Surgawi, Zamrud Khatulistiwa, pertemuan antara dua benua dan dua samudera, yang dihiasi dengan banyak gunung berapi serta ribuan pulau ini, tetap penuh kenyamanan dan keamanan

Jadi ... gak usah pindah ya Bro and Sis..! :-)

0 komentar:

Posting Komentar