Oleh: Salim A. Fillah
“Dahulu
kami meninggalkan Al Quran”; ujar seorang bapak dari keluarga Syamallekh di
Masjid Syaikh ‘Ajleyn sebakda Shubuh ketika kami berhalaqah Quran; “Maka Allah
pun mencampakkan kami dalam kehinaan di kaki penjajah Zionis. Kami terjajah,
tertindas, & hancur; lalu mencoba mencari pegangan dalam gelap; harta,
kedudukan, senjata. Tapi itu semua hanya membuat kami kian terpuruk. Kini kami
kembali pada KitabuLlah; alhamduliLlah, kami bisa berdiri tegak, berwajah
cerah, & bersemangat dalam perlawanan seperti kalian saksikan.”
Ya,
kami memang menyaksikannya. Amat keliru jika membayangkan Gaza itu miskin,
kumuh, sakit, sedih, & lesu. Yang kami saksikan di mana-mana sejak masuk
dari Rafah adalah ketegaran, senyum yang mengembang, sambutan yang hangat;
bahkan juga betapa rapi, bersih, hijau, jelitanya kawasan. Setidaknya bila
dibandingkan tetangganya; Mesir si ibu peradaban.
Kami
bersyukur memasuki Gaza ketika Presiden Mesir sudah bukan lagi Husni Mubarak.
Al Akh Muhammad Mursi; jazahuLlahu khairan katsira. Menurut seorang Relawan
yang pernah masuk Gaza tahun lalu; betapa terhina kita di hadapan petugas
imigrasi Mesir kala itu. Sepuluh pos pemeriksaan oleh tentara sejak dari
jembatan Terusan Suez hingga gerbang Rafah sudah menyulitkan dengan berbagai
tanya & penggeledahan; belum lagi wajah yang suram, jelek, & mengejek
itu. Dan akhirnya; keleleran bagai pencari suaka dengan jam-jam menunggu yang
tak jelas di tengah tatapan angkuh & melecehkan wajah-wajah yang seakan
begitu asing dari wudhu’ & membenci semangat berkeshalihan.
Al
Akh Muhammad Mursi; jazahuLlahu khairan. Kini wajah tentara & petugas
imigrasi berubah; bukan cuma cerah oleh wudhu’, sebagiannya malah berbekas
sujud. Senyum bertebaran, dan ada yang berkata titip cinta untuk Gaza. Pos-pos
pemeriksaan tentara tak lagi menghalangi; justru mereka menyediakan pengawalan
2 mobil patroli; yang meski justru agak memperlambat; tapi kami memahami maksud
baiknya. Di gerbang imigrasi Mesirpun hanya soalan sederhana, “Sudah
berkoordinasi dengan Gaza?” Saat dijawab ya; dia tersenyum dan membubuhkan
capnya. Lega. AlhamduliLlah.
Maka
dibanding Kairo yang hiruk pikuk, Gaza adalah kesyahduan. Dari Sinai yang
gersang, Gaza adalah kesejukan. Alih-alih El ‘Arisy yang nyaman, Gaza adalah
kemesraan. Sejak Rafah-Gush Katif-Khan Yunis-Deiril Balah-Gaza City-Jabaliya;
yang tampak bukan keterjajahan melainkan perlawanan; bukan kesayuan namun
kegairahan; bukan keputusasaan tapi cinta yang bermekaran. Di tanah istimewa
ini lahir Al Imam Asy Syafi’i; mungkin di antara zaitun terbaik, anggur
tersegar, farwalah yang manis & merah, serta angin Laut Tengah yang menderu
gagah.
“Dulu
kami meninggalkan Al Quran”, ujar si bapak dari keluarga Syamallekh itu.
Perhatikan kembali kalimat-kalimatnya di awal tulisan ini yang mencerminkan
pemahaman amat mendalam terhadap hakikat perjuangan. Apakah dia Syaikh, ‘Alim,
Faqih? Bukan. Hanya seorang karyawan toko bersahaja. Bahkan bacaan Qurannya
yang penuh semangat pun berulang-kali harus dibetulkan sebab terbiasa berdialek
‘ammiyah yang tak fasih. Tapi dari itu kita tahu; ideologi muqawamah telah
tertanam ke segenap dada warga Gaza; pemimpin maupun jelata, kaya maupun papa,
‘ulama maupun biasa.
Dan
kamipun menjumpai halaqah Quran itu di mana-mana; di tiap Masjid, sekolah,
bahkan kantor, toko, & poliklinik. Di sebuah pusat layanan kanker yang
sedang akan dikembangkan; ada ruangan penuh kanak-kanak. Bermuraja’ah dibimbing
seorang perawat. Mas-ul Darul Quranil Karim, Syaikh Dr. ‘Abhdurrahman Jamal
membawahi sebuah lembaga akbar yang mengelola tahfizh puluhan ribu orang;
merawat hafalan; melaksanakan pengajian Tafsir, Sirah, & Hadits di berbagai
Majelis; serta menyelenggarakan Daurah Shaifiyah yang alumninya kanak-kanak
berhafizh lengkap dalam 2 bulan.
Apa
pekerjaan utama para mujahid? Salah seorang komandan tempur berkata, “Mengaji!
Kemudian mengaji! Kemudian mengaji!” Maka sungguh; senjata-senjata yang
ditembakkan para pejuang Kataib ‘Izzuddin Al Qassam ke arah Zionis hanyalah
kembang api perayaan dari sebuah kebangkitan yang telah tumbuh di dada
orang-orang Gaza. Al Quran.
Gaza
hari ini semarak oleh aneka gerai yang berebut perhatian; dari roti hingga
mobil, dari es krim hingga meubel; tapi alhamduliLlah, keramaian terbesar tetap
masjid-masjid kala shalat jama’ah dan halaqah Quran. Anak-anak kecil berlari di
jalanan tanpa takut; cita-cita mereka semua sama & tak dapat ditawar;
“Syahid fi sabiliLlah!” Bagaimana caranya? “Dengan Al Quran!”, jawab mereka.
Sebab anggota Kataib ‘Izzuddin Al Qassam yang ribath di garis terdepan dipilih
dari mereka yang paling mesra dengan Al Quran.
Ya
Allah; jadikan kunjungan kami ke Gaza ini membuka pipa-pipa saluran keberkahan
& kekudusan bumi serta penduduknya nan mulia ini untuk digerojokkan ke
negeri kami. Mulia dengan Al Quran.
Salim
A. Fillah
hamba
Allah yang tertawan dosanya, santri yang tertahan kejahilannya, berharap ada
manfaat dalam faqir & dha’ifnya
pelayan
Majelis Jejak Nabi
0 komentar:
Posting Komentar