Selain itu di sana-sini sedang diadakan pembangunan dan renovasi besar-besaran. Gedung-gedung lama dikosongkan dan kemudian dihancurkan. Sumur Zam-Zam diperbaiki, sehingga untuk sementara tidak bisa dipakai jama'ah. Toilet juga tampaknya belum diperbaharui. Lebih rapi dan lebih bersih toilet di Masjid Nabawi Madinah. Keramik/marmer di lapangan luar juga banyak yang sedang direnovasi. Sorry for your inconvenience! We are under construction!
Hal-hal tersebut agak menggangu kenyamanan kita beribadah. Perjalanan dari penginapan / hotel ke mesjid jadi penuh tantangan. Adanya alat-alat besar yang sedang menghancurkan bangunan-bangunan lama sungguh mengkhawatirkan kaum muslimin yang lewat. Apa jadinya kalau beton yang sedang diangkat derek raksasa itu tiba-tiba jatuh melejit menimpa jama'ah yang lewat?
Ketika saya baru tiba di Mekah dari Madinah dengan baju ihram, kondisi tersebut sedikit mengecewakan. Saya kurang merasa mendapatkan aura yang dulu pernah saya dapatkan ketika berhaji pertama kali. Mau apa sih Pemerintah Saudi ini? Mengapa gedung-gedung pencakar langit raksasa dibangun di sekitar Masjidil Haram? Mau menandingi Ka'bah ya?
Dengan bersungut-sungut dalam hati, saya dan teman-teman yang umroh bareng, bergerak bersama lautan manusia memasuki Masjidil Haram. Mula-mula melewati lapangan luarnya yang luas. Kemudian masuk dari salah satu pintunya. Dalam hal ini kami masuk lewat pintu 1 yaitu Pintu King Abdul Aziz. Alas kaki dibuka, dimasukkan dalam kantong plastik yang sudah disediakan di depan pintu. Kemudian perlahan-lahan masuk ke area sholat sambil bertalbiyah:
"Labbaik Allahuma Labbaik. Labbaik laa syarikalaka labbaik, innal hamda, wanni'mata, laka walmulk. laa syarikalak."
Kami bertalbiyah bersama-sama dengan jama'ah dari berbagai bangsa. Ada kulit putih, kulit hitam, kuning, merah, coklat. Orang Arab, Pakistan, Turki, China, Inggris, Negro, Russia, dan lain-lainnya. Semua menuju satu titik di tengah Masjidil Haram. Itulah Ka'bah. Titik sentral arah ibadah sholat kita dari tempat manapun di seluruh dunia.
Akhirnya itulah dia. Ka'bah mulai tampak oleh zhahir mata kami. Masih seperti yang dulu. Berkiswah hitam dengan bordiran benang-benang emas. Kotak persegi yang bukan kubus. Begita sederhananya. Tetapi begitu kuat daya tariknya.
Bersama arus manusia lainnya, kami mulai ritual ibadah awal dari umroh ini. Tawaf dengan starting line di garis yang merupakan garis jari-jari dari pusat Ka'bah melewati Hajar Aswad menuju keluar.
"Bismillahi Allahu Akbar!"
Tangan kanan kami angkat memberi "sapaan" kepada sang Batu Hitam. Adalah tidak mungkin dan konyol kalau mau ikut-ikutan memaksa mengawali Tawaf dengan mencium Hajar Aswad. Ada berapa ratus orang yang berdesakan dalam area yang cuma sekitar 5 meter persegi. Di tempat seperti itu, kalau kita tidak tersakiti oleh desakan orang lain, maka kemungkinan lainnya hanyalah bahwa kita menyakiti orang lain.
Akhirnya kami mengawali Tawaf putaran pertama dengan doa-doa yang telah disiapkan jauh-jauh hari ataupun permintaan yang mendadak teringat pada saat itu. Dan suasana itu mulai datang. Keharuan yang makin lama makin mengguncang. Perasaan ketidak-berdayaan sebagai manusia sehingga menimbulkan ke-tawakal-an yang besar kepada Allah Sang Maha Pencipta. Dan air mata pun mulai mengalir. Bersama lantunan doa dari ribuan orang, yang bergerak berkeliling Ka'bah berlawanan dengan putaran jarum jam. Doa yang lembut, doa yang keras. Doa yang diselingi isak tangis, doa yang disesaki isak tangis.
Maka sayapun merasa bahwa, tidak... tidak ada yang dapat menyaingi Ka'bah Baitullah ini. Tidak bangunan-bangunan besar di luar sana. Bukan lapangan marmer luas dan mulus di sekeliling Masjidil Haram. Dan bukan juga jam raksasa di atas sana.
Jakarta, 25 April 2012
1 komentar:
Mengapa hati ini jadi rindu lagi ke Rumah-Mu ya Allah.... Allahumma ya Allah, ya Rahman, ya Rahim, kabulkanlah ya Allah....
Posting Komentar