Ads 468x60px

Kamis, 29 Oktober 2015

Nyanyian dan Musik

Di antara hiburan yang dapat menyenangkan jiwa, menyegarkan hati, dan mengenakkan telinga adalah nyanyian.

Islam memperbolehkan nyanyian selama tidak bermuatan kekejian, perkataan kotor, atau ajakan perbuatan dosa. Juga tidak berdosa jika dibarengi dengan musik yang tidak membangkitkan nafsu.

Bahkan, disunnahkan dalam acara-acara kegembiraan, sebagai ekspresi kegembiraan dan menghibur hati. Misalnya pada hari-hari raya, perkawinan, kedatangan orang hilang, pada saat walimah, akikah, dan kelahiran.



Diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah bahwa dia menikahkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari Anshar. Lalu, Nabi saw berkata, ‘’Wahai Aisyah, apakah mereka diiringi dengan hiburan? Karena orang-orang Anshar menyukai hiburan!’’

Diriwayatkan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas bahwa Aisyah menikahkan seorang wanita kerabatnya dari Anshar.

Lalu, Rasulullah datang dan berkata,‘’Apakah kamu memberikan hadiah kepada anak gadis itu?’’

Mereka berkata, ‘’Ya‘’

Rasulullah berkata, ‘’Apakah kamu mengirimkan bersamanya orang yang menyanyi?’’

Aisyah berkata,’’Tidak ‘’

Lalu Rasulullah berkata, ‘’Sesungguhnya orang-orang Anshar adalah kaum yang menyukai hiburan, maka alangkah baiknya kalau kamu kirimkan bersamanya orang yang bernyanyi, ‘Atainakum, atainakum, fahayyana wahayyakum (Kami datang, kami datang, sambutlah kami, lalu anda kami sambut).’ ‘’

Diriwayatkan mutaffaq alaih dari Aisyah bahwa Abu Bakar masuk ketempatnya, dan di sampingnya ada dua anak wanita pada hari Mina (hari raya Idul Adha). Kedua anak wanita itu bernyanyi dan menabuh gendang., sedangkan Nabi menutup wajah dengan bajunya. Lalu, Abu Bakar melarang keduanya. Maka, Nabi membuka wajahnya dan berkata, ‘’Biarkan mereka wahai Abu Bakar, karena hari ini adalah Hari Raya’’

Imam al-Ghazali menuturkan dalam kitab Ihya Ulumuddin beberapa hadits tentang nyanyian dua anak wanita tersebut, permainan orang-orang Habasyah di masjid Nabi, dan dorongan Nabi kepada mereka dengan perkataannya, ‘’Teruskan olehmu wahai Bani Arfidah.’’ Dan, perkataan Nabi kepada Aisyah, ‘’Apakah kamu ingin melihat permainan ini?’’ Beliau berdiri bersama Aisyah sehingga Aisyah bosan dan puas. Maka, Aisyah bermain anak-anakkan bersama anak-anak wanita teman-temannya.

Kemudian al-Ghazali mengatakan bahwa hadis-hadits ini semuanya ada dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) dan itu adalah nash yang jelas bahwa nyanyian bukanlah hal yang haram. Hadits-hadits itu menunjukkan adanya kemurahan (dispensasi) untuk beberapa hal.

Pertama. Bermain, dan tidak diragukan bahwa kebiasaan orang-orang Habasyah adalah menari dan bermain.

Kedua. Permainan boleh dilakukan di masjid.

Ketiga. Perkataan Nabi saw., ‘’Teruskan wahai Bani Arfidah’’, ini adalah perintah supaya bermain dan menekuninya. Oleh karena itu, bagaimana mungkin dikatakan bahwa permainan itu dianggap haram?

Keempat. Larangan Rasulullah kepada Abu Bakar dan Umar supaya tidak mengingkari permainan itu, tidak menyelanya, dan tidak mengubahnya. Beliau menyampaikan alasan bahwa hari itu adalah hari raya, maksudnya pada saat bersenang-senang, dan ini adalah termasuk sarana kegembiraan.

Kelima. Beliau berdiri lama dalam menyaksikan permainan dan mendengarkannya, karena menuruti keinginan Aisyah. Ini menunjukkan adanya Akhlak yang baik. Yaitu, menyenangkan hati istri dan anak-anak dengan menyaksikan permainan. Itu lebih baik daripada bersifat kaku, zuhud, dan berlabih-lebihan dalam melarang.

Keenam. Perkataan beliau kepada Aisyah dimulai dengan pertanyaan, ‘’Apakan kamu ingin melihat permainan ini?’’

Ketujuh. Diperbolehkan untuk memyanyi dan memukul rebana dari dua gadis itu seperti dikatakan Imam al-Ghazali dalam bab As-Sima’mendengarkan’.

Diriwayatkan dari beberapa orang sahabat dan tabi’in bahwa mereka juga mendengar nyanyian dan tidak menganggapnya sebagai perbuatan dosa.

Adapun hadits-hadits Nabi yang melarang nyanyian, semuanya ada cacatnya, tidak ada satupun yang lepas dari celaan dari kalangan ahli hadits dan ulamanya. Al-Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi berkata, “Tidak ada satupun hadits yang sahih dalam mengharamkan nyanyian.’’

Ibnu Hazm berkata, ‘’Semua riwayat yang mengharamkannya adalah batil dan palsu.’’

Banyak sekali nyanyian yang disertai musik dan perbuatan berlebih-lebihan, minum-minuman khamar, dan perbuatan-perbuatan haram lainnya. Senhingga, banyak ulama menganggap bahwa nyanian dan musik hukumnya haram atau makruh.

Sebagian mereka mengatakan bahwa nyanyian termasuk lahwul hadits ‘perkataan yang sia-sia’ yang tersebut dalam firman Allah,


‘’Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuian dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.’’ (Luqman:6)

Ibnu Hazm berkata, ‘’Ayat tersebut menyebutkan suatu sifat yang apabila dilakukan menyebabkan pelakunya menjadi kafir dengan tidak ada perselisihan pendapat, yaitu apabila dia menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan. Kalau seseorang membeli mushaf Al-Qur’an untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya sebagai bahan olok-olokan, maka dia kafir. Inilah yang dicela Allah Azza wa Jalla. Tetapi, Allah tidak mencela orang yang membeli ‘’Lahwal hadits’’ untuk hiburan dan mengembirakan hati, bukan dipergunakan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah.”

Ibnu Hazm juga membantah pendapat orang yang mengatakan bahwa nyanyian tidak termasuk kebenaran, sehingga termasuk kesesatan sebagaimana firman Allah,


‘’...Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan....’’ (Yunus:32)

Dalam menolak pendapat ini Ibnu Hazm mengatakan bahwa Rasulullah telah bersabda
‘’Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung pada niatnya , dan setiap orang hanya akan mendapat apa yang dia niatkan.’’ (Muttafaq alaih)

Dengan demikian, Menurut Ibnu Hazm, barang siapa mendengarkan nyanyian dengan maksud untuk membantu melakukan maksiat kepada Allah, maka dia fasik. Demikian pula terhadap segala sesuatu selain nyanyian. Jika dia berniat untuk menghibur hatinya sebagai bekal kekuatan dalam taat kepada Allah Azza wa Jalla dan lebih semangat dalam melakukan kebaikan, maka ia adalah orang yang ta'at dan baik serta perbuatannya ini adalah kebenaran. Barangsiapa mendengarkan nyanyian dan sebagainya tanpa maksud untuk melakukan keta’atan atau kemaksiatan, maka tindakannya itu merupakan perbuatan sia-sia yang di maafkan, seperti seseorang pergi ke kebun untuk santai, duduk di depan pintu rumah untuk melepas suntuk, dan seperti orang mewarnai bajunya dengan warna ungu, hijau, dan sebagainya.

Akan tetapi dalam masalah nyanyian ini ada beberapa ketentuan yang harus kita jaga.

1.    Syair nyanyian tidak bertentangan dengan adab dan ajaran Islam. Apabila terdapat nyanyian yang isinya hanya memuji-muji khamar, atau mengajak orang utuk meminumnya, maka melaksanakan dan mendengarkan nyanyian seperti ini dan sejenisnya adalah haram.

2.    Terkadang syairnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi cara penampilan penyanyi mengalihkan dari hukum halal kepada hukum haram. Misalnya, dengan membuka-buka aurat, melenggak-lenggok dan sengaja membangkitkan nafsu dan mengundang fitnah dan syahwat.

3.    Kalau agama memberantas sikap dan tindakan yang berlebihan dalam segala hal termasuk dalam masalah ibadah, maka begaimana kalau berlebihan dalam bermain-main, membuang-buang waktu untuknya, sedangkan waktu adalah kehidupan?! Tidak diragukan lagi bahwa berlebihan dalam hal-hal mubah akan memakan waktu kewajiban. Sehingga, ada pepatah mengatakan, ‘’Aku tidak melihat suatu tindakan berlebihan kecuali ada hak yang hilang.’’

4.    Ada beberapa hal yang dapat digunakan para pendengar untuk menasehati dirinya sendiri. Apabila nyanyian atau semacamnya dapat membangkitkan nafsu dan dapat menimbulkan fitnah dan unsur kebinatangannya lebih dominan daripada unsur kerohaniannya, maka hendaklah dia menjauhinya dan menutup pintu tempat bertiupnya angin fitnah terhadap hati, agama, dan akhlaknya. Dengan demikian, dia dapat tenang dan lega.

5.    Dan termasuk hal yang disepakati bahwa nyanyian yang dibarengi dengan hal-hal lain yang haram, seperti di tempat yang disertai minuman keras, dicampur dengan perbuatan keji dan dosa, maka hal inilah yang diancam oleh Rasulullah bahwa pelaku dan pendengarnya akan mendapat azab yang pedih sebagaimana sabda beliau dalam hadits riwayat Ibnu Majah, ‘’Sungguh akan ada dari umatku orang-orang yang meminum khamr dan diperdengarkannya musik-musik dan penyanyi-penyanyi wanita. Maka, Allah akan menenggelam kan mereka ke dalam bumi dan akan menjadikan mereka kera-kera dan babi-babi.’’

Bukan suatu keharusan kalau mereka diubah bentuk dan rupanya. Tetapi yang diubah ialah jiwa dan ruhnya. Sehingga, bentuk mereka tetap manusia, tetapi jiwanya seperti jiwa kera dan ruhnya seperti ruh babi.


(DR Yusuf Al-Qaradhawi dalam buku “Halal Haram dalam Islam”)

0 komentar:

Posting Komentar