Ads 468x60px

Minggu, 29 Juni 2014

KEPEMIMPINAN dalam ISLAM

 Islam adalah agama yang komprehensif. Tidak ada satupun aspek dalam kehidupan ini kecuali telah diatur oleh Islam. Minimal dalam bentuk rambu-rambu umum yang menjadi pijakan dan landasan dalam mengambil keputusan. Allah befirman,
  
Kami turunkan kepadamu Al-kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS an-Nahl: 89).

Apabila konsep sekuler Barat cenderung memisahkan antara urusan agama dan dunia, maka Islam menjadikan urusan dunia sebagai bagian dari agama. Apabila sebagian mereka berkata, agama adalah milik Allah sementara negara adalah milik manusia sehingga mereka bebas mengurus negara sesuai dengan keinginan mereka, maka Islam menegaskan bahwa agama dan negara semuanya merupakan milik Allah sehingga harus diurus sesuai dengan tuntunan-Nya. Bahkan kehidupan dan kematian kita juga merupakan milik Allah sehingga harus dipersembahkan untuk-Nya.

Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).  (QS an-Nahl: 162-163).

Masalah negara, kekuasaan, dan kepemimpinan tidak bisa dipisahkan dari spirit dan nilai-nilai ajaran Islam. Nash Alquran, sejumlah riwayat, pandangan para ulama serta realitas sejarah membuktikan dan menunjukkan betapa masalah kepemimpinan mendapatkan perhatian yang cukup besar. Di antara dalil dari Alquran yang membahas tentang masalah kekuasaan dan kepemimpinan adalah:

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. (QS an-Nisa: 59).

Di antara dalil dari hadits Nabi saw adalah: 
إذا خرج ثلاثةٌ فى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أحدَهم (أبو داود ، وأبو يعلى ، والبيهقى ، والضياء عن أبى سعيد . ابن ماجه وضعفه عن أبى ذر . ابن ماجه ، والضياء عن أبى هريرة)

Jika tiga orang berada dalam sebuah perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin. (HR Abu Daud, Abu Ya’la dll).

Lalu sejarah juga membuktikan bagaimana ketika Nabi saw wafat, hal yang menyibukkan para sahabat adalah memilih pemimpin. Bahkan masalah memilih pemimpin ini membuat proses penguburan jasad beliau sempat tertunda.

Demikian sejumlah dalil dari begitu banyak dalil  dan riwayat menunjukkan perhatian Islam terhadap masalah kekuasaan dan kepemimpinan. Sampai-sampai Ibnu Taymiyyah dalam buku as-Siyasah asy-Syar’iyyah berkata, “Harus diketahui bahwa al-wilayah (perwalian dan kepemimpinan) urusan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar. Bahkan tidak ada artinya penegakan penegakan agama dan dunia tanpa adanya kepemimpinan (al-wilayah)...”

Imam al-Ghazali juga menegaskan, “Kekuasaan dan agama adalah anak kembar. Agama adalah dasar dan sultan (kekuasaan) merupakan penjaga.” (Ihya Ulumuddin I/71).

Jadi, kepemimpinan dan kekuasaan merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan. Kepemimpinan adalah sesuatu yang inheren dalam Islam dan tidak bisa dipisahkan. Tanpa adanya kepemimpinan, yang muncul adalah kekacauan dan ketidakteraturan. Tanpa adanya kekuasaan yang mengayomi, maka yang akan lahir adalah berbagai anarki dan kerusakan.

Pada masa sekarang, kita menyaksikan betapa kerusakan, kemaksiatan dan kemungkaran begitu merajalela. Untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita, narkoba dan miras yang beredar luas dari kota hingga ke desa-desa, pornografi dan pornoaksi yang demikian masif dipertontonkan di mana-mana, kejahatan dan penyimpangan seksual yang dilakukan tanpa mengenal batas dan norma susila, serta untuk menghadapi berbagai kemungkaran lainnya, dibutuhkan sebuah kepemimpinan yang kuat. Kepemimpinan dan kekuasaan bisa menjadi senjata yang ampuh untuk melakukan pengendalian, memberikan pengarahan, dan memberikan pencerahan kepada umat.

Tentu saja kepemimpinan yang dimaksud bukan kepemimpinan yang tiran, yang zalim, dan menyimpang. Namun kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang ditegakkan sesuai dengan tuntunan Islam. Yaitu sebagai berikut:

Pertama, kepemimpinan tersebut harus memastikan terlaksananya ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersifat universal.  Dengan demikian, akidah dan ibadah terjaga, akhlak dan moral terpelihara, keseimbangan antara rohani dan materi tercipta, serta amar makruf dan nahi mungkar bisa terlaksana. Islam tidak membenarkan kepemimpinan yang justru memberikan ruang dan fasilitas kepada berbagai pentas kemaksiatan, mencontohkan perilaku syirik dan klenik yang menyimpang, serta mentolerir kehadiran berbagai keyakinan dan agama sempalan.  

Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran: 104).

Kedua, kepemimpinan tersebut harus ditegakkan di atas pilar-pilar musyawarah; bukan ditegakkan di atas prinsip pemaksaan kehendak dan sikap otoriter. Inilah yang dikembangkan oleh Rasul saw dalam mengambil keputusan sebagaimana petunjuk Allah Swt,

Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali Imran: 159).

Ketiga, kepemimpinan tersebut harus memberikan pengayoman, perlindungan, dan rasa aman. Terutama kepada kalangan dhuafa, yatim, buruh, serta kalangan yang terpinggirkan; bukan malah menjadi alat dan fasilitator bagi para pengusaha dan konglomerat hitam, serta boneka bagi pihak asing yang ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Karena itu khalifah pertama berkata dalam pidato pengukuhannya sebagai khalifah,

أمَّا بَعدُ أيُّهَا النَّاس ، فَإنِّي قَد وليتُ عَلَيْكُم وَلَسْتُ بِخَيْرِكُم ، فَإن أحْسَنْتُ فأعِيْنُونِي ؛ وَإنْ أسأت فقوموني ؛ الصدق أمانة ، والكذب خيانة ، والضعيف فيكم قوي عندي حتى أريح عليه حقه ...

“Amma ba’du: Wahai manusia aku telah diangkat sebagai pemimpin bagi kalian padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Oleh karena itu, jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. Orang yang kuat di tengah kalian adalah orang yang lemah di sisiku sebelum aku mengambil hak darinya. Sementara orang yang lemah di antara kalian adalah orang yang kuat di sisiku sebelum aku memberikan hak kepadanya.”

Keempat,  kepemimpinan tersebut harus melindungi kebebasan setiap individu terkait dengan haknya untuk melaksanakan ajaran agama, hak untuk hidup layak, hak menjaga kehormatan diri, hak menjaga harta dan hak berketurunan. Tidak boleh ada diskriminasi dan tirani. Apalagi tirani minoritas terhadap mayoritas.

Kelima, kepemimpinan tersebut harus dijalankan dengan tegas dan berani demi untuk menegakkan kebenaran. Berani dalam menentukan sikap, berani dalam mengambil keputusan, berani berkorban dan menanggung resiko, berani untuk menyampaikan pandangan baik dalam forum-forum formal maupun informal, baik dalam skala nasional maupun internasional;  serta berani melakukan negosiasi dengan negara lain dalam rangka melindungi kepentingan bangsa dan negara. Dari sini akan lahir sebuah kepemimpinan yang tegas dan berwibawa baik di mata rakyat maupun di mata internasional; bukan kepemimpinan mudah didikte, direndahkan, dan dipermainkan.

عن أبي ذر رضي الله عنه قال « : قال لي النبي صلى الله عليه وسلم : قل الحق ولو كان مرا » صححه ابن حبان(      

Nabi saw berkata kepada Abu Dzar ra, “Katakan yang benar meskipun pahit adanya.”

Begitulah bentuk kepemimpinan yang diinginkan oleh Islam. Satu bentuk kepemimpinan yang mendatangkan maslahat dan manfaat bagi umat.

Karena itu kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang yang tidak layak dan kepada sembarang orang. Kepemimpinan tidak boleh hanya berdasarkan fanatisme buta dan pencitraan semata. Namun ia harus didasarkan pada kemampuan, kelayakan, dan kecakapan. Jika tidak, maka kehancuran dan kerusakan yang terjadi akan bertambah parah. Rasul saw bersabda,

إذا ضيعت الأمانةُ فانتظر الساعةَ قيل كيف إضاعتُها قال إذا أُسِنْدَ الأمرُ إلى غيرِ أهلِهِ فانتظر الساعةَ (البخارى عن أبى هريرة)

“Jika amanah disia-siakan tunggulah kehancurannya”. Ada yang bertanya, “Bagaimana bentuk menyia-nyiakannya?” Beliau menjawab, “Jika urusan diserahkan kepada orang yang tidak layak, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR Bukhari dari Abu Hurayrah ra). 

(Materi Tarbiyah: "Kepemimpinan")

Minggu, 22 Juni 2014

AMANAH dan KEMPEMIMPINAN



عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا

Diriwayatkan dari Abu Dzar ra, “Aku berkata kepada Rasulullah saw, ‘Wahai Rasulullah, jadikanlah aku sebagai pejabat!’ Mendengar hal itu,  beliau menepuk pundaknya seraya berkata, “Wahai Abu Dzarr engkau adalah orang yang lemah. Sementara jabatan tersebut adalah amanah. Pada hari kiamat ia bisa mendatangkan kehinaan dan penyesalan. Kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.” (HR Muslim).

Hadits di atas memberikan sebuah gambaran bahwa jabatan, apalagi kepemimpinan, merupakan urusan yang berat. Ia tidak bisa dipikul oleh orang yang lemah. Hanya “orang yang kuat” yang bisa memikulnya. Oleh karena itu, ketika Abu Dzar ra yang dikenal zuhud, sederhana, baik, salih, dan taat memintanya, Rasulullah saw terpaksa harus berterus terang meskipun sebetulnya berat. Beliau berkata kepadanya, “Engkau adalah orang yang lemah.”

Demikianlah Rasulullah saw memberikan sebuah pelajaran penting. Bahwa tidak sembarang orang bisa memegang sebuah jabatan kepemimpinan. Jabatan kepemimpinan bukan sebuah anugerah apalagi kehormatan dan kemuliaan yang layak untuk diperebutkan. Namun ia adalah sebuah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

Nabi saw bersabda dalam hadits yang lain,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang amir yang mengurus kondisi masyarakat adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas mereka yang dipimpinnya. (HR Muslim).


Karena kepemimpinan merupakan sebuah amanah yang berat dan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt, maka yang bisa mengembannya bukan hanya orang yang jujur dan sederhana, serta bukan hanya yang baik semata. Namun yang bisa mengembannya adalah orang kuat dan orang yang amanah.  Karakter dan sifat itulah yang digambarkan oleh Allah lewat lisan putri Nabi Syuaib as yang memberikan rekomendasi kepada orang tuanya saat mengangkat Musa as sebagai pegawai dan orang kepercayaan.


Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, "Wahai bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan amanah.” (QS al-Qashash: 26).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa kekuatan Nabi Musa as tampak dari kecekatannya dalam mengambil air dari sumur. Sementara sifat amanahnya tampak pada akhlak dan adab Nabi Musa as saat berhadapan dengan wanita di mana ia bisa menjaga mata dan menundukkan pandangan.

Jadi hanya orang yang kuat dan amanah yang layak untuk menjadi seorang pemimpin. Dengan demikian, orang yang lemah meskipun amanah tidak layak menjadi pemimpin. Demikian pula dengan orang yang kuat namun tidak amanah, ia juga tidak layak menjadi pemimpin. Apalagi, jika sifat lemah dan tidak amanah bergabung di dalam diri seseorang. Kalaupun ternyata tidak ada yang memenuhi kualifikasi tersebut secara sempurna, maka paling tidak yang mendekati atau yang paling sedikit kekurangannya.


Kesadaran itulah yang ditanamkan oleh Rasul saw lewat hadits di atas. Bahwa jabatan dan kepemimpinan merupakan amanah. Tanggung jawab yang berada di pundak seorang pemimpin sangat besar. Ia harus memperhatikan kemaslahatan rakyatnya dan memberikan perlindungan kepada mereka. Kesadaran semacam inilah yang tertanam dalam pribadi Umar ibn al-Khattab ra saat menjadi khalifah dan amirul mukminin sehingga ia berkata, “Andaikan seekor bahgal  di Irak  terjerembab di daerah Irak, niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawaban kelak: mengapa engkau tidak meratakan jalannya wahai Umar?!”



Rasul saw mengingatkan bahwa siapa yang tidak bisa mengemban amanah tersebut dengan baik, serta tidak menjalankan kewajibannya secara benar, maka jabatan kepemimpinannya akan mendatangkan kehinaan dan penyesalan di hari kiamat. Ia akan mendapatkan hisab yang berat. Rasul saw juga bersabda,
"ما من إمام يموت يوم يموت وهو غاش لرعيته، إلا لم يَرح رائحة الجنة، وإن ريحها ليوجد من مسيرة خمسمائة عام" .
Ketika seorang imam (pemimpin) meninggal dunia dalam kondisi mengkhianati rakyatnya, maka ia tidak akan mencium bau sorga. Padahal bau sorga sudah tercium dari jarak perjalanan lima ratus tahun. (HR al-Bukhari).
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
 Ketika seorang hamba yang diminta oleh Allah untuk menjadi pemimpin meninggal dunia dalam kondisi menipu dan mengkhianati rakyatnya, maka Allah mengharamkan sorga untuknya. (HR Muslim).


Imam Fudhayl ibn Iyadh berkata, “Hadits di atas adalah ancaman bagi setiap orang yang diberi kepercayaan mengurus urusan kaum muslim, baik urusan agama maupun dunia, namun kemudian ia berkhianat. Jika seseorang berkhianat terhadap kepercayaan yang diberikan padanya dan tidak berlaku baik, entah dengan tidak menjelaskan persoalan agama kepada mereka, tidak menjaga syariat Allah dari unsur yang bisa merusak, mengubah maknanya, mengabaikan hukum-Nya, menelantarkan hak mereka, tidak memberikan perlindungan kepada mereka, tidak berjuang mengusir musuh, serta tidak berlaku adil, maka berarti ia telah mengkhianati mereka. Dan seperti yang ditegaskan oleh Nabi saw bahwa hal itu merupakan dosa besar yang  menjauhkan pelakunya dari sorga.” (Syarah an-Nawawi ala Muslim).


Itulah balasan di hari akhir bagi pemimpin yang tidak amanah, yang tidak menunaikan tugas dengan baik. Namun sebaliknya, pemimpin yang amanah, yang adil, yang dapat menjalankan tugas dengan baik, ia akan mendapatkan apresiasi dan kedudukan mulia.


Di antaranya:
" ثلاثة لا ترد دعوتهم: الإمام العادل، والصائم حتى يفطر، ودعوة المظلوم
Tiga golongan yang doa mereka tidak tertolak: pemimpin yang adil, orang yang berpuasa hingga berbuka, dan orang yang dizalimi. (HR at-Tirmidzi)


يَوْمٌ مِنْ إِمَامٍ عَادِلٍ أَفْضَلُ مِنْ عُبَادَةِ سِتِّينَ سَنَةً،
Satu hari yang dilalui oleh pemimpin yang adil lebih baik daripada ibadah 60 tahun. (HR ath-Thabrani).


إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ
Orang yang paling dicintai Allah dan paling dekat dengan-Nya di hari kiamat adalah pemimpin yang adil (HR at-Tirmidzi).


سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللَّهِ
Tujuh golongan yang mendapat naungan Allah di hari tiada naungan kecuali naungan-Nya: pemimpin adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah... (HR at-Tirmidzi).

Dalam konteks saat ini, Indonesia sebagai sebuah negara berkembang dihadapkan pada berbagai persoalan rumit dan krusial. Dalam sektor ekonomi, terdapat sejumlah perusahaan asing yang dengan leluasa mengeruk aset dan kekayaan negeri ini dalam jumlah luar biasa. Dalam bidang hukum, peradilan yang mestinya menjadi sarana bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan masih cenderung tebang pilih karena sejumlah kepentingan yang bercampur di dalamnya. Dalam bidang sosial, konflik antar kampung, antar golongan, antar pelajar, dan antar suku masih sangat sering terjadi, terkadang hanya oleh hal yang kecil dan sepele saja. Dalam bidang politik, money politic selalui menghiasi aktivitas pemilu tanpa ada tindakan perbaikan yang bersifat nyata. Dalam bidang budaya, seni dan tradisi asing yang permisif dan merusak moral bangsa berkembang secara masif baik lewat media cetak maupun audio visual tanpa ada kemampuan untuk mengontrolnya.

Dengan berbagai kondisi di atas, adanya kepemimpinan yang berani, kuat, dan amanah menjadi sebuah keniscayaan yang harus segera dihadirkan dan diupayakan secara bersama-sama agar negeri ini menjadi Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur  (negeri yang aman sentosa dan mendapat ampunan Tuhan).


(Materi Tarbiyah: "Kepemimpinan dalam Islam")