Ads 468x60px

Selasa, 01 Juli 2014

ETIKA Memilih PEMIMPIN

Sepanjang  sejarahnya, umat Islam tidak pernah mengenal adanya pemisahan antara agama dan daulah, kecuali setelah muncul era sekularisme pada zaman sekarang; satu hal yang justru pernah diingatkan oleh Rasulullah saw dan diperintahkan untuk dilawan.

Dalam hadist yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud, beliau bersabda,

وإن رحى الإسلام دائرة وإن الكتاب والسلطان سيفترقان فدوروا مع الكتاب حيثما دار وستكون عليكم أئمة إن أطعتموهم أضلوكم وإن عصيتموهم قتلوكم قالوا كيف نصنع يا رسول الله قال كونوا كأصحاب عيسى نصبوا على الخشب ونشروا بالمناشير موت فى طاعة الله خير من حياة فى معصية (ابن عساكر عن ابن مسعود)

“Ketahuilah, sesungguhnya bulatan penggilingan Islam terus berputar, sementara Alquran dan pemimpin (agama dan kekuasaan) akan saling berpisah.  Maka berputarlah bersama Alquran seperti apapun ia berputar. Ketahuilah, kalian akan dipimpin para penguasa yang jika kalian patuh, niscaya mereka akan menyesatkan kalian dan jika kalian membangkang, niscaya  mereka akan menghabisi kalian.” Mereka bertanya,  “Lalu apa yang harus kita lakukan wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Hendaklah kalian seperti rekan-rekan Isa bin Maryam. Mereka disalib di atas kayu dan digergaji. Mati dalam ketaatan kepada Allah lebih baik daripada hidup dalam kedurhakaan kepada Allah.” (HR Ibnu Asakir).

Tabiat dan risalah Islam bersifat umum dan universal. Ia menyusup ke seluruh sisi kehidupan. Maka sulit digambarkan jika seorang muslim mengabaikan urusan kekuasaan dan menyerahkan kepada para ateis atau orang-orang jahat untuk memutarbalikkannya berdasarkan hawa nafsu mereka.

Dalam buku As-Siyasah Asy-Syar’iyyah disebutkan ,”Harus diketahui bahwa wilayah (pengaturan atau pemerintahan) urusan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar. Bahkan tidak ada artinya penegakkan agama dan dunia tanpa perwalian ini. Kemaslahatan bani Adam tidak akan berjalan secara sempurna kecuali dengan membentuk komunitas, karena sebagian diantara mereka pasti membutuhkan sebagian yang lain. Dalam komunitas itu dibutuhkan seorang pemimpin."

Hukum Memilih

Memilih pemimpin adalah bagian penting yang sangat diperhatikan dalam Islam. Syeikh Dr. Yusuf al-Qardhawi, dalam buku Fikih Daulah menegaskan bahwa memilih kandidat dalam pemilu termasuk bentuk pemberian kesaksian akan kelayakan seseorang. Karena itu, setiap pemilih harus memenuhi syarat dalam memberikan kesaksian. Misalnya memiliki sikap adil dan diridhai. Allah befirman, “Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian.” (QS ath-Thalaq: 2)  “Dari saksi-saksi yang kalian ridhai.” (QS al-Baqarah: 282)

Sebagai konsekwensinya:
  1. Siapa yang memberikan kesaksian dengan tidak adil, misalnya dengan memilih kandidat yang tidak layak dipilih berarti ia telah melakukan dosa besar karena sama dengan memberikan kesaksian palsu. Dalam Alquran Allah menyebut kesaksian dan perkataan palsu setelah perbuatan syirik, “Oleh karena itu, jauhilah berhala-hala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (QS al-Hajj: 30)
  2. Siapa yang memberikan kesaksian atau suara kepada kandidat hanya dengan pertimbangan bahwa kandidat itu merupakan kerabatnya, atau ia merupakan orang yang berasal dari satu daerah, atau karena untuk mendapatkan keuntungan pribadi berarti ia telah menyalahi perintah Allah. “Hendaklah kalian menegakkan keadilan itu karena Allah.” (QS ath-Thalaq: 2)
  3. Barangsiapa yang tidak mempergunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.“Janganlah para saksi itu enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil untuknya.” (QS al-Baqarah: 282)."Janganlah kalian (para saksi) menyembunyikan persaksian. Barangsiapa menyembunyikannya, sesungguhnya ia adalah orang yang hatinya berdosa." (QS al-Baqarah: 283)

Memilih Pemimpin

Untuk memilih pemimpin terdapat sejumlah aspek yang harus diperhatikan. Pertama terkait dengan pribadi sang calon pemimpin, dan kedua terkait dengan kolega dan orang-orang kepercayaannya.

Pertama terkait dengan pribadi calon pemimpin

Dalam Alquran dan hadits terdapat sejumlah petunjuk yang memberikan arahan kepada umat terkait dengan kriteria pemimpin atau orang yang layak diberi amanah dan kepercayaan. Dari berbagai ayat dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Harus memiliki visi dan misi yang jelas sesuai dengan misi penciptaannya di dunia.  Allah befirman, “Apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (QS al-Mukminun: 115).
  2. Harus memiliki prinsip serta memiliki kemampuan melakukan inovasi dan kreasi; tidak taklid dan mengekor, serta tidak mengikuti apa kata “majikan” dan selera kebanyakan orang meskipun salah dan menyimpang. Rasul saw bersabda, “Janganlah kalian membebek dengan berkata, ‘Kalau orang lain berbuat baik, kami pun akan berbuat baik dan kalau yang lain berbuat zalim kami juga berbuat zalim. Akan tetapi, milikilah prinsip. Kalau orang lain berbuat baik, kami pun berbuat baik. Dan jika orang lain berbuat buruk, janganlah kalian berbuat zalim pula.” (HR at-Tirmidzi).
  3. Harus memiliki integritas, terutama jujur dan amanah sesuai dengan firman-Nya dalam surat Yusuf 55. Pasalnya pemimpin akan menjadi teladan dan contoh bagi masyarakatnya. Rasul saw sendiri bersabda, “Andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri, tentu aku potong tangannya.” (HR Ahmad). 
  4. Harus bisa merangkul semua golongan dengan sikap yang baik dan bijaksana. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS Ali Imran: 159).
  5. Harus kuat secara fisik dan wawasan. Allah befirman, “Nabi mereka berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.’ Mereka menjawab, ‘Bagaimana Thalut memerintah Kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, serta dia tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?’ Nabi (mereka) berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.’ Allah memberikan kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui.” (QS al-Baqarah: 247)

Kedua terkait dengan kalangan dekatnya

Hal lain yang juga harus menjadi pertimbangan dalam memilih pemimpin adalah keberadaan orang-orang kepercayaan di sekitarnya. Pasalnya, pada masa sekarang seorang pemimpin tidak bisa bertindak sendirian. Kepemimpinannya cenderung dipengaruhi oleh lingkungan partai, kelompok, dan kalangan dekatnya yang dalam bahasa agama disebut dengan bithonah. Karena itu, di samping melihat kepada sosok calon pemimpin, yang harus dilihat pula adalah siapa saja orang-orang kepercayaan yang berada di sekelilingnya.
Terkait dengan ini Allah befirman,

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya." (QS Ali Imran: 118).

Dalam tafsir Ibnu Katsir dan sejumlah kitab tafsir lain disebutkan, makna dari ayat di atas adalah bahwa seorang muslim tidak boleh menjadikan orang munafik, non-muslim, dan musuh secara umum sebagai  orang kepercayaan yang menjadi tempat mencurahkan berbagai informasi rahasia dan tempat meminta pertimbangan.

Inilah sejumlah pertimbangan yang harus diperhatikan saat memilih pemimpin. Kalaupun kemudian tidak ada kandidat yang memenuhi syarat di atas maka paling tidak yang paling mendekati. Atau kalau tidak, yang paling sedikit mudharat dan bahayanya (akhaffu adh-dhararayni).

Wallahu a’lam.




(Materi Tarbiyah: "Kepemimpinan")

Minggu, 29 Juni 2014

KEPEMIMPINAN dalam ISLAM

 Islam adalah agama yang komprehensif. Tidak ada satupun aspek dalam kehidupan ini kecuali telah diatur oleh Islam. Minimal dalam bentuk rambu-rambu umum yang menjadi pijakan dan landasan dalam mengambil keputusan. Allah befirman,
  
Kami turunkan kepadamu Al-kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS an-Nahl: 89).

Apabila konsep sekuler Barat cenderung memisahkan antara urusan agama dan dunia, maka Islam menjadikan urusan dunia sebagai bagian dari agama. Apabila sebagian mereka berkata, agama adalah milik Allah sementara negara adalah milik manusia sehingga mereka bebas mengurus negara sesuai dengan keinginan mereka, maka Islam menegaskan bahwa agama dan negara semuanya merupakan milik Allah sehingga harus diurus sesuai dengan tuntunan-Nya. Bahkan kehidupan dan kematian kita juga merupakan milik Allah sehingga harus dipersembahkan untuk-Nya.

Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).  (QS an-Nahl: 162-163).

Masalah negara, kekuasaan, dan kepemimpinan tidak bisa dipisahkan dari spirit dan nilai-nilai ajaran Islam. Nash Alquran, sejumlah riwayat, pandangan para ulama serta realitas sejarah membuktikan dan menunjukkan betapa masalah kepemimpinan mendapatkan perhatian yang cukup besar. Di antara dalil dari Alquran yang membahas tentang masalah kekuasaan dan kepemimpinan adalah:

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. (QS an-Nisa: 59).

Di antara dalil dari hadits Nabi saw adalah: 
إذا خرج ثلاثةٌ فى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أحدَهم (أبو داود ، وأبو يعلى ، والبيهقى ، والضياء عن أبى سعيد . ابن ماجه وضعفه عن أبى ذر . ابن ماجه ، والضياء عن أبى هريرة)

Jika tiga orang berada dalam sebuah perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin. (HR Abu Daud, Abu Ya’la dll).

Lalu sejarah juga membuktikan bagaimana ketika Nabi saw wafat, hal yang menyibukkan para sahabat adalah memilih pemimpin. Bahkan masalah memilih pemimpin ini membuat proses penguburan jasad beliau sempat tertunda.

Demikian sejumlah dalil dari begitu banyak dalil  dan riwayat menunjukkan perhatian Islam terhadap masalah kekuasaan dan kepemimpinan. Sampai-sampai Ibnu Taymiyyah dalam buku as-Siyasah asy-Syar’iyyah berkata, “Harus diketahui bahwa al-wilayah (perwalian dan kepemimpinan) urusan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar. Bahkan tidak ada artinya penegakan penegakan agama dan dunia tanpa adanya kepemimpinan (al-wilayah)...”

Imam al-Ghazali juga menegaskan, “Kekuasaan dan agama adalah anak kembar. Agama adalah dasar dan sultan (kekuasaan) merupakan penjaga.” (Ihya Ulumuddin I/71).

Jadi, kepemimpinan dan kekuasaan merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan. Kepemimpinan adalah sesuatu yang inheren dalam Islam dan tidak bisa dipisahkan. Tanpa adanya kepemimpinan, yang muncul adalah kekacauan dan ketidakteraturan. Tanpa adanya kekuasaan yang mengayomi, maka yang akan lahir adalah berbagai anarki dan kerusakan.

Pada masa sekarang, kita menyaksikan betapa kerusakan, kemaksiatan dan kemungkaran begitu merajalela. Untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita, narkoba dan miras yang beredar luas dari kota hingga ke desa-desa, pornografi dan pornoaksi yang demikian masif dipertontonkan di mana-mana, kejahatan dan penyimpangan seksual yang dilakukan tanpa mengenal batas dan norma susila, serta untuk menghadapi berbagai kemungkaran lainnya, dibutuhkan sebuah kepemimpinan yang kuat. Kepemimpinan dan kekuasaan bisa menjadi senjata yang ampuh untuk melakukan pengendalian, memberikan pengarahan, dan memberikan pencerahan kepada umat.

Tentu saja kepemimpinan yang dimaksud bukan kepemimpinan yang tiran, yang zalim, dan menyimpang. Namun kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang ditegakkan sesuai dengan tuntunan Islam. Yaitu sebagai berikut:

Pertama, kepemimpinan tersebut harus memastikan terlaksananya ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersifat universal.  Dengan demikian, akidah dan ibadah terjaga, akhlak dan moral terpelihara, keseimbangan antara rohani dan materi tercipta, serta amar makruf dan nahi mungkar bisa terlaksana. Islam tidak membenarkan kepemimpinan yang justru memberikan ruang dan fasilitas kepada berbagai pentas kemaksiatan, mencontohkan perilaku syirik dan klenik yang menyimpang, serta mentolerir kehadiran berbagai keyakinan dan agama sempalan.  

Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran: 104).

Kedua, kepemimpinan tersebut harus ditegakkan di atas pilar-pilar musyawarah; bukan ditegakkan di atas prinsip pemaksaan kehendak dan sikap otoriter. Inilah yang dikembangkan oleh Rasul saw dalam mengambil keputusan sebagaimana petunjuk Allah Swt,

Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali Imran: 159).

Ketiga, kepemimpinan tersebut harus memberikan pengayoman, perlindungan, dan rasa aman. Terutama kepada kalangan dhuafa, yatim, buruh, serta kalangan yang terpinggirkan; bukan malah menjadi alat dan fasilitator bagi para pengusaha dan konglomerat hitam, serta boneka bagi pihak asing yang ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Karena itu khalifah pertama berkata dalam pidato pengukuhannya sebagai khalifah,

أمَّا بَعدُ أيُّهَا النَّاس ، فَإنِّي قَد وليتُ عَلَيْكُم وَلَسْتُ بِخَيْرِكُم ، فَإن أحْسَنْتُ فأعِيْنُونِي ؛ وَإنْ أسأت فقوموني ؛ الصدق أمانة ، والكذب خيانة ، والضعيف فيكم قوي عندي حتى أريح عليه حقه ...

“Amma ba’du: Wahai manusia aku telah diangkat sebagai pemimpin bagi kalian padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Oleh karena itu, jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. Orang yang kuat di tengah kalian adalah orang yang lemah di sisiku sebelum aku mengambil hak darinya. Sementara orang yang lemah di antara kalian adalah orang yang kuat di sisiku sebelum aku memberikan hak kepadanya.”

Keempat,  kepemimpinan tersebut harus melindungi kebebasan setiap individu terkait dengan haknya untuk melaksanakan ajaran agama, hak untuk hidup layak, hak menjaga kehormatan diri, hak menjaga harta dan hak berketurunan. Tidak boleh ada diskriminasi dan tirani. Apalagi tirani minoritas terhadap mayoritas.

Kelima, kepemimpinan tersebut harus dijalankan dengan tegas dan berani demi untuk menegakkan kebenaran. Berani dalam menentukan sikap, berani dalam mengambil keputusan, berani berkorban dan menanggung resiko, berani untuk menyampaikan pandangan baik dalam forum-forum formal maupun informal, baik dalam skala nasional maupun internasional;  serta berani melakukan negosiasi dengan negara lain dalam rangka melindungi kepentingan bangsa dan negara. Dari sini akan lahir sebuah kepemimpinan yang tegas dan berwibawa baik di mata rakyat maupun di mata internasional; bukan kepemimpinan mudah didikte, direndahkan, dan dipermainkan.

عن أبي ذر رضي الله عنه قال « : قال لي النبي صلى الله عليه وسلم : قل الحق ولو كان مرا » صححه ابن حبان(      

Nabi saw berkata kepada Abu Dzar ra, “Katakan yang benar meskipun pahit adanya.”

Begitulah bentuk kepemimpinan yang diinginkan oleh Islam. Satu bentuk kepemimpinan yang mendatangkan maslahat dan manfaat bagi umat.

Karena itu kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang yang tidak layak dan kepada sembarang orang. Kepemimpinan tidak boleh hanya berdasarkan fanatisme buta dan pencitraan semata. Namun ia harus didasarkan pada kemampuan, kelayakan, dan kecakapan. Jika tidak, maka kehancuran dan kerusakan yang terjadi akan bertambah parah. Rasul saw bersabda,

إذا ضيعت الأمانةُ فانتظر الساعةَ قيل كيف إضاعتُها قال إذا أُسِنْدَ الأمرُ إلى غيرِ أهلِهِ فانتظر الساعةَ (البخارى عن أبى هريرة)

“Jika amanah disia-siakan tunggulah kehancurannya”. Ada yang bertanya, “Bagaimana bentuk menyia-nyiakannya?” Beliau menjawab, “Jika urusan diserahkan kepada orang yang tidak layak, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR Bukhari dari Abu Hurayrah ra). 

(Materi Tarbiyah: "Kepemimpinan")

Minggu, 22 Juni 2014

AMANAH dan KEMPEMIMPINAN



عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا

Diriwayatkan dari Abu Dzar ra, “Aku berkata kepada Rasulullah saw, ‘Wahai Rasulullah, jadikanlah aku sebagai pejabat!’ Mendengar hal itu,  beliau menepuk pundaknya seraya berkata, “Wahai Abu Dzarr engkau adalah orang yang lemah. Sementara jabatan tersebut adalah amanah. Pada hari kiamat ia bisa mendatangkan kehinaan dan penyesalan. Kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.” (HR Muslim).

Hadits di atas memberikan sebuah gambaran bahwa jabatan, apalagi kepemimpinan, merupakan urusan yang berat. Ia tidak bisa dipikul oleh orang yang lemah. Hanya “orang yang kuat” yang bisa memikulnya. Oleh karena itu, ketika Abu Dzar ra yang dikenal zuhud, sederhana, baik, salih, dan taat memintanya, Rasulullah saw terpaksa harus berterus terang meskipun sebetulnya berat. Beliau berkata kepadanya, “Engkau adalah orang yang lemah.”

Demikianlah Rasulullah saw memberikan sebuah pelajaran penting. Bahwa tidak sembarang orang bisa memegang sebuah jabatan kepemimpinan. Jabatan kepemimpinan bukan sebuah anugerah apalagi kehormatan dan kemuliaan yang layak untuk diperebutkan. Namun ia adalah sebuah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

Nabi saw bersabda dalam hadits yang lain,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang amir yang mengurus kondisi masyarakat adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas mereka yang dipimpinnya. (HR Muslim).


Karena kepemimpinan merupakan sebuah amanah yang berat dan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt, maka yang bisa mengembannya bukan hanya orang yang jujur dan sederhana, serta bukan hanya yang baik semata. Namun yang bisa mengembannya adalah orang kuat dan orang yang amanah.  Karakter dan sifat itulah yang digambarkan oleh Allah lewat lisan putri Nabi Syuaib as yang memberikan rekomendasi kepada orang tuanya saat mengangkat Musa as sebagai pegawai dan orang kepercayaan.


Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, "Wahai bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan amanah.” (QS al-Qashash: 26).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa kekuatan Nabi Musa as tampak dari kecekatannya dalam mengambil air dari sumur. Sementara sifat amanahnya tampak pada akhlak dan adab Nabi Musa as saat berhadapan dengan wanita di mana ia bisa menjaga mata dan menundukkan pandangan.

Jadi hanya orang yang kuat dan amanah yang layak untuk menjadi seorang pemimpin. Dengan demikian, orang yang lemah meskipun amanah tidak layak menjadi pemimpin. Demikian pula dengan orang yang kuat namun tidak amanah, ia juga tidak layak menjadi pemimpin. Apalagi, jika sifat lemah dan tidak amanah bergabung di dalam diri seseorang. Kalaupun ternyata tidak ada yang memenuhi kualifikasi tersebut secara sempurna, maka paling tidak yang mendekati atau yang paling sedikit kekurangannya.


Kesadaran itulah yang ditanamkan oleh Rasul saw lewat hadits di atas. Bahwa jabatan dan kepemimpinan merupakan amanah. Tanggung jawab yang berada di pundak seorang pemimpin sangat besar. Ia harus memperhatikan kemaslahatan rakyatnya dan memberikan perlindungan kepada mereka. Kesadaran semacam inilah yang tertanam dalam pribadi Umar ibn al-Khattab ra saat menjadi khalifah dan amirul mukminin sehingga ia berkata, “Andaikan seekor bahgal  di Irak  terjerembab di daerah Irak, niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawaban kelak: mengapa engkau tidak meratakan jalannya wahai Umar?!”



Rasul saw mengingatkan bahwa siapa yang tidak bisa mengemban amanah tersebut dengan baik, serta tidak menjalankan kewajibannya secara benar, maka jabatan kepemimpinannya akan mendatangkan kehinaan dan penyesalan di hari kiamat. Ia akan mendapatkan hisab yang berat. Rasul saw juga bersabda,
"ما من إمام يموت يوم يموت وهو غاش لرعيته، إلا لم يَرح رائحة الجنة، وإن ريحها ليوجد من مسيرة خمسمائة عام" .
Ketika seorang imam (pemimpin) meninggal dunia dalam kondisi mengkhianati rakyatnya, maka ia tidak akan mencium bau sorga. Padahal bau sorga sudah tercium dari jarak perjalanan lima ratus tahun. (HR al-Bukhari).
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
 Ketika seorang hamba yang diminta oleh Allah untuk menjadi pemimpin meninggal dunia dalam kondisi menipu dan mengkhianati rakyatnya, maka Allah mengharamkan sorga untuknya. (HR Muslim).


Imam Fudhayl ibn Iyadh berkata, “Hadits di atas adalah ancaman bagi setiap orang yang diberi kepercayaan mengurus urusan kaum muslim, baik urusan agama maupun dunia, namun kemudian ia berkhianat. Jika seseorang berkhianat terhadap kepercayaan yang diberikan padanya dan tidak berlaku baik, entah dengan tidak menjelaskan persoalan agama kepada mereka, tidak menjaga syariat Allah dari unsur yang bisa merusak, mengubah maknanya, mengabaikan hukum-Nya, menelantarkan hak mereka, tidak memberikan perlindungan kepada mereka, tidak berjuang mengusir musuh, serta tidak berlaku adil, maka berarti ia telah mengkhianati mereka. Dan seperti yang ditegaskan oleh Nabi saw bahwa hal itu merupakan dosa besar yang  menjauhkan pelakunya dari sorga.” (Syarah an-Nawawi ala Muslim).


Itulah balasan di hari akhir bagi pemimpin yang tidak amanah, yang tidak menunaikan tugas dengan baik. Namun sebaliknya, pemimpin yang amanah, yang adil, yang dapat menjalankan tugas dengan baik, ia akan mendapatkan apresiasi dan kedudukan mulia.


Di antaranya:
" ثلاثة لا ترد دعوتهم: الإمام العادل، والصائم حتى يفطر، ودعوة المظلوم
Tiga golongan yang doa mereka tidak tertolak: pemimpin yang adil, orang yang berpuasa hingga berbuka, dan orang yang dizalimi. (HR at-Tirmidzi)


يَوْمٌ مِنْ إِمَامٍ عَادِلٍ أَفْضَلُ مِنْ عُبَادَةِ سِتِّينَ سَنَةً،
Satu hari yang dilalui oleh pemimpin yang adil lebih baik daripada ibadah 60 tahun. (HR ath-Thabrani).


إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ
Orang yang paling dicintai Allah dan paling dekat dengan-Nya di hari kiamat adalah pemimpin yang adil (HR at-Tirmidzi).


سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللَّهِ
Tujuh golongan yang mendapat naungan Allah di hari tiada naungan kecuali naungan-Nya: pemimpin adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah... (HR at-Tirmidzi).

Dalam konteks saat ini, Indonesia sebagai sebuah negara berkembang dihadapkan pada berbagai persoalan rumit dan krusial. Dalam sektor ekonomi, terdapat sejumlah perusahaan asing yang dengan leluasa mengeruk aset dan kekayaan negeri ini dalam jumlah luar biasa. Dalam bidang hukum, peradilan yang mestinya menjadi sarana bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan masih cenderung tebang pilih karena sejumlah kepentingan yang bercampur di dalamnya. Dalam bidang sosial, konflik antar kampung, antar golongan, antar pelajar, dan antar suku masih sangat sering terjadi, terkadang hanya oleh hal yang kecil dan sepele saja. Dalam bidang politik, money politic selalui menghiasi aktivitas pemilu tanpa ada tindakan perbaikan yang bersifat nyata. Dalam bidang budaya, seni dan tradisi asing yang permisif dan merusak moral bangsa berkembang secara masif baik lewat media cetak maupun audio visual tanpa ada kemampuan untuk mengontrolnya.

Dengan berbagai kondisi di atas, adanya kepemimpinan yang berani, kuat, dan amanah menjadi sebuah keniscayaan yang harus segera dihadirkan dan diupayakan secara bersama-sama agar negeri ini menjadi Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur  (negeri yang aman sentosa dan mendapat ampunan Tuhan).


(Materi Tarbiyah: "Kepemimpinan dalam Islam")

Senin, 10 Februari 2014

Infaq Para Sahabat Nabi Muhammad SAW


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memotivasi para shahabat untuk berinfaq dalam perang Tabuk, dengan ganjaran yang besar di sisi Allah Ta’ala. Maka berinfaqlah para shahabat, seperti Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.

Abdurrahman bin Hubab menceritakan tentang infaq Utsman, beliau berkata:


 عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ خَبَّابٍ قَالَ شَهِدْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَحُثُّ عَلَى جَيْشِ الْعُسْرَةِ فَقَامَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلَيَّ مِائَةُ بَعِيرٍ بِأَحْلَاسِهَا وَأَقْتَابِهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ حَضَّ عَلَى الْجَيْشِ فَقَامَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلَيَّ مِائَتَا بَعِيرٍ بِأَحْلَاسِهَا وَأَقْتَابِهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ حَضَّ عَلَى الْجَيْشِ فَقَامَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلَيَّ ثَلَاثُ مِائَةِ بَعِيرٍ بِأَحْلَاسِهَا وَأَقْتَابِهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَأَنَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْزِلُ عَنْ الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُولُ مَا عَلَى عُثْمَانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ هَذِهِ مَا عَلَى عُثْمَانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ هَذِهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ السَّكَنِ بْنِ الْمُغِيرَةِ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ
“Aku menyaksikan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi para shahabat dalam Jaisy Al ‘Usrah (yaitu Perang Tabuk -pent), maka Utsman bin Affan berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku akan memberikan 100 unta lengkap dengan muatan dan pelananya di jalan Allah!’. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memotivasi lagi, dan Utsman kembali berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku akan memberikan 200 unta lengkap dengan muatan dan pelananya di jalan Allah!’. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memotivasi lagi, dan Utsman kembali berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah! Aku akan memberikan 300 unta lengkap dengan muatan dan pelananya di jalan Allah!’. Maka aku melihat Rasulullah turun dari mimbar dan berkata, ‘Tidak ada bagi Utsman sesuatu yang akan menimpanya setelah ini, tidak ada bagi Utsman sesuatu yang akan menimpanya setelah ini’. (Diriwayatkan oleh At Tirmidzi 5/626)

Dari Abdurrahman bin Samurah radhiyallaahu ‘anhuma beliau berkata:


عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ جَاءَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَلْفِ دِينَارٍ فِي ثَوْبِهِ حِينَ جَهَّزَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَيْشَ الْعُسْرَةِ قَالَ فَصَبَّهَا فِي حِجْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَلِّبُهَا بِيَدِهِ وَيَقُولُ مَا ضَرَّ ابْنُ عَفَّانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ الْيَوْمِ يُرَدِّدُهَا مِرَارًا

“Utsman bin Affan datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa 1000 dinar dalam kantong pakaiannya, ketika itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tengah mempersiapkan pasukan dalam Jaisy Al ‘Usyrah, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menerimanya dan berkata, ‘Tidak ada yang dapat membahayakan Ibnu ‘Affan setelah hari ini (yaitu jaminan surga atas Utsman radhiyallaahu ‘anhu -pent)’, beliau mengulang-ulang perkataan ini” (Musnad Imam Ahmad 5/63)

Adapun Umar bin Khattab, beliau bershadaqah dengan separuh hartanya, dan beliau mengira itu bisa mengalahkan Abu Bakar, radhiyallahu ‘anhuma. Al Faruq sendiri yang menceritakan, beliau berkata,


 أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا أَنْ نَتَصَدَّقَ فَوَافَقَ ذَلِكَ مَالًا عِنْدِي فَقُلْتُ الْيَوْمَ أَسْبِقُ أَبَا بَكْرٍ إِنْ سَبَقْتُهُ يَوْمًا فَجِئْتُ بِنِصْفِ مَالِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ قُلْتُ مِثْلَهُ قَالَ وَأَتَى أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِكُلِّ مَا عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ قَالَ أَبْقَيْتُ لَهُمْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ قُلْتُ لَا أُسَابِقُكَ إِلَى شَيْءٍ أَبَدًا

“Rasululllah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami pada suatu hari untuk bershadaqah, dan waktu itu aku tengah memiliki sejumlah harta, maka aku berkata, ‘Kalau ada satu hari dimana aku bisa mengalahkan Abu Bakar, inilah harinya”. Maka aku datang dengan membawa separuh dari hartaku, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang engkau nafkahkan kepada keluargamu?’, aku jawab, ‘Sejumlah itu (karena beliau membagi separuh hartanya -pent)’. Kemudian datang Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu membawa semua yang ia miliki, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?’, Abu Bakar menjawab, ‘Aku tinggalkan untuk mereka, Allah dan Rasul-Nya’. Aku pun berkata, ‘Tidak akan pernah aku mengalahkan Abu Bakar selama-lamanya’”. (Sunan Abi Daud 2/312 dan 313, no. 1678)
 

Diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf berinfaq dengan 2000 dirham, dan itu adalah separuh dari harta yang beliau miliki saat itu, untuk keperluan perang Tabuk (lihat As Sirah fi Dhau’ Al Mashadir Al Ushuliyah hal. 616)
 

Juga diriwayatkan bahwa shahabat lainnya berinfaq dalam jumlah yang besar, seperti Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Muhammad bin Maslamah, dan ‘Ashim bin ‘Adi radhiyallahu ‘anhum (lihat Al Maghazi Al Waqidi 3/391)
 

Tidak ketinggalan, para shahabat yang berasal dari golongan fuqara’, mereka juga menyumbangkan apa yang mereka miliki. Hal ini kemudian menjadi bahan  sindiran dan ejekan kaum munafiqin. Alkisah, Abu ‘Uqail datang dengan membawa setengah sha’ kurma, kemudian kaum munafiqin datang dengan membawa infaq yang lebih banyak, dan berkata, “Sungguh Allah tidak butuh atas shadaqah sesedikit itu, tidaklah orang berinfaq sedemikian rupa melainkan hanya untuk riya’”. Kemudian turun ayat:

الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ

“(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya” 
(QS. At Taubah : 79)
 

Maka setelah turun ayat tersebut, mereka ganti berkata, “Tidaklah (Abdurrahman) Ibn ‘Auf bersedekah melainkan karena riya”. Mereka pun mempermasalahkan shadaqah orang-orang kaya dengan sebutan riya’, dan mengejek shadaqah orang-orang faqir.
 

Maka bersedihlah para fuqara’ dari kalangan mukminin, karena mereka tidak memiliki harta yang dapat digunakan untuk berjihad. Adalah ‘Ulbah bin Zaid, ia shalat malam dan menangis dalam shalatnya, beliau berkata, “Ya Allah sungguh Engkau telah perintahkan aku untuk berjihad, dan aku sangat ingin untuk itu, namun tidak Engkau jadikan di sisiku ini apa yang dapat membantuku dalam memperkuat kedudukan Rasul-Mu”. Maka hal ini pun sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau mengabarkan bahwa ‘Ulbah telah diampuni. (diriwayatkan dari jalur yang lemah, namun terdapat beberapa syahid yang shahih, lihat Al Mujtama’ Al Madani lil ‘Umari hal. 235)
 

Dalam kisah ini dapat dipetik pelajaran tentang keikhlasan, dan cinta akan jihad dalam rangka menolong agama Allah dan menyebarluaskannya. Terdapat juga faidah betapa lembutnya Allah terhadap kaum dhu’afa dari kalangan mukminin, yang mereka sangat bersemangat untuk beramal (lihat Muhammadur Rasulullah, Shadiq ‘Arjun 4/443)
 

Ada pula sebagian shahabat yang menyumbangkan tenaga. Kaum ‘Asy’ariyun dipimpin oleh Abu Musa Al Asy’ari meminta kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sejumlah unta dan kendaraan agar dapat turut serta dalam jihad. Namun tidak ada unta yang dapat dinaiki dan berselang beberapa waktu, akhirnya mereka memperoleh tiga ekor unta. (lihat Al Mujtama’ Al Madani hal. 236)
 

Mengenai segolongan kaum mukminin yang lemah, sakit, dan tidak mampu berangkat jihad, Allah Ta’ala berfirman:

لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَىٰ وَلَا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
 

“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”. lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.”
(QS. At Taubah : 91-92)

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang kelompok yang tertahan dari jihad:


إِنَّ أَقْوَامًا بِالْمَدِينَةِ خَلْفَنَا مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلَا وَادِيًا إِلَّا وَهُمْ مَعَنَا فِيهِ حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ
 

“Sungguh di Madinah terdapat kaum yang tidak ikut berperang, tidak ikut mendaki bukit, menuruni lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala -pent).” Maka para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, mereka ada di Madinah?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka ada di Madinah, tertahan karena ada udzur” (HR Bukhari dalam Kitab Al Maghazi, no. 4423)


Sumber: http://yhougam.wordpress.com/2013/01/06/perang-tabuk-bagian-ii-infaq-para-sahabat/