Ads 468x60px

Kamis, 27 Desember 2012

HABIBIE dan AINUN


Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu. Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya, dan kematian adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang. Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang, pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada. Aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.

Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik. Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.

Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya, kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.

Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
Selamat jalan, calon bidadari surgaku ….

B.J. Habibie untuk Ainun 

Rabu, 26 Desember 2012

Catatan dari GAZA 2

Dari Kinanah ke Bumi Al Quran

Oleh: Salim A. Fillah





“Dahulu kami meninggalkan Al Quran”; ujar seorang bapak dari keluarga Syamallekh di Masjid Syaikh ‘Ajleyn sebakda Shubuh ketika kami berhalaqah Quran; “Maka Allah pun mencampakkan kami dalam kehinaan di kaki penjajah Zionis. Kami terjajah, tertindas, & hancur; lalu mencoba mencari pegangan dalam gelap; harta, kedudukan, senjata. Tapi itu semua hanya membuat kami kian terpuruk. Kini kami kembali pada KitabuLlah; alhamduliLlah, kami bisa berdiri tegak, berwajah cerah, & bersemangat dalam perlawanan seperti kalian saksikan.”

Ya, kami memang menyaksikannya. Amat keliru jika membayangkan Gaza itu miskin, kumuh, sakit, sedih, & lesu. Yang kami saksikan di mana-mana sejak masuk dari Rafah adalah ketegaran, senyum yang mengembang, sambutan yang hangat; bahkan juga betapa rapi, bersih, hijau, jelitanya kawasan. Setidaknya bila dibandingkan tetangganya; Mesir si ibu peradaban.

Kami bersyukur memasuki Gaza ketika Presiden Mesir sudah bukan lagi Husni Mubarak. Al Akh Muhammad Mursi; jazahuLlahu khairan katsira. Menurut seorang Relawan yang pernah masuk Gaza tahun lalu; betapa terhina kita di hadapan petugas imigrasi Mesir kala itu. Sepuluh pos pemeriksaan oleh tentara sejak dari jembatan Terusan Suez hingga gerbang Rafah sudah menyulitkan dengan berbagai tanya & penggeledahan; belum lagi wajah yang suram, jelek, & mengejek itu. Dan akhirnya; keleleran bagai pencari suaka dengan jam-jam menunggu yang tak jelas di tengah tatapan angkuh & melecehkan wajah-wajah yang seakan begitu asing dari wudhu’ & membenci semangat berkeshalihan.

Al Akh Muhammad Mursi; jazahuLlahu khairan. Kini wajah tentara & petugas imigrasi berubah; bukan cuma cerah oleh wudhu’, sebagiannya malah berbekas sujud. Senyum bertebaran, dan ada yang berkata titip cinta untuk Gaza. Pos-pos pemeriksaan tentara tak lagi menghalangi; justru mereka menyediakan pengawalan 2 mobil patroli; yang meski justru agak memperlambat; tapi kami memahami maksud baiknya. Di gerbang imigrasi Mesirpun hanya soalan sederhana, “Sudah berkoordinasi dengan Gaza?” Saat dijawab ya; dia tersenyum dan membubuhkan capnya. Lega. AlhamduliLlah.

Maka dibanding Kairo yang hiruk pikuk, Gaza adalah kesyahduan. Dari Sinai yang gersang, Gaza adalah kesejukan. Alih-alih El ‘Arisy yang nyaman, Gaza adalah kemesraan. Sejak Rafah-Gush Katif-Khan Yunis-Deiril Balah-Gaza City-Jabaliya; yang tampak bukan keterjajahan melainkan perlawanan; bukan kesayuan namun kegairahan; bukan keputusasaan tapi cinta yang bermekaran. Di tanah istimewa ini lahir Al Imam Asy Syafi’i; mungkin di antara zaitun terbaik, anggur tersegar, farwalah yang manis & merah, serta angin Laut Tengah yang menderu gagah.

“Dulu kami meninggalkan Al Quran”, ujar si bapak dari keluarga Syamallekh itu. Perhatikan kembali kalimat-kalimatnya di awal tulisan ini yang mencerminkan pemahaman amat mendalam terhadap hakikat perjuangan. Apakah dia Syaikh, ‘Alim, Faqih? Bukan. Hanya seorang karyawan toko bersahaja. Bahkan bacaan Qurannya yang penuh semangat pun berulang-kali harus dibetulkan sebab terbiasa berdialek ‘ammiyah yang tak fasih. Tapi dari itu kita tahu; ideologi muqawamah telah tertanam ke segenap dada warga Gaza; pemimpin maupun jelata, kaya maupun papa, ‘ulama maupun biasa.

Dan kamipun menjumpai halaqah Quran itu di mana-mana; di tiap Masjid, sekolah, bahkan kantor, toko, & poliklinik. Di sebuah pusat layanan kanker yang sedang akan dikembangkan; ada ruangan penuh kanak-kanak. Bermuraja’ah dibimbing seorang perawat. Mas-ul Darul Quranil Karim, Syaikh Dr. ‘Abhdurrahman Jamal membawahi sebuah lembaga akbar yang mengelola tahfizh puluhan ribu orang; merawat hafalan; melaksanakan pengajian Tafsir, Sirah, & Hadits di berbagai Majelis; serta menyelenggarakan Daurah Shaifiyah yang alumninya kanak-kanak berhafizh lengkap dalam 2 bulan.
Apa pekerjaan utama para mujahid? Salah seorang komandan tempur berkata, “Mengaji! Kemudian mengaji! Kemudian mengaji!” Maka sungguh; senjata-senjata yang ditembakkan para pejuang Kataib ‘Izzuddin Al Qassam ke arah Zionis hanyalah kembang api perayaan dari sebuah kebangkitan yang telah tumbuh di dada orang-orang Gaza. Al Quran.

Gaza hari ini semarak oleh aneka gerai yang berebut perhatian; dari roti hingga mobil, dari es krim hingga meubel; tapi alhamduliLlah, keramaian terbesar tetap masjid-masjid kala shalat jama’ah dan halaqah Quran. Anak-anak kecil berlari di jalanan tanpa takut; cita-cita mereka semua sama & tak dapat ditawar; “Syahid fi sabiliLlah!” Bagaimana caranya? “Dengan Al Quran!”, jawab mereka. Sebab anggota Kataib ‘Izzuddin Al Qassam yang ribath di garis terdepan dipilih dari mereka yang paling mesra dengan Al Quran.

Ya Allah; jadikan kunjungan kami ke Gaza ini membuka pipa-pipa saluran keberkahan & kekudusan bumi serta penduduknya nan mulia ini untuk digerojokkan ke negeri kami. Mulia dengan Al Quran.

Salim A. Fillah
hamba Allah yang tertawan dosanya, santri yang tertahan kejahilannya, berharap ada manfaat dalam faqir & dha’ifnya
pelayan Majelis Jejak Nabi
 

Catatan dari GAZA 1

Sang Perdana Menteri




Oleh: Salim A. Fillah

Di antara selezat-lezat nikmat bagi orang beriman adalah berjumpa Allah; kemudian berjumpa orang-orang shalih..

Seorang yang berjumpa RasuluLlah, walau hanya sekali, dan beriman kepada beliau ShallaLlahu 'Alaihi wa Sallam mendapatkan gelar SAHABAT. Dengan gelar ini mereka disifati para 'Ulama Hadits sebagai Kulluhum 'Udul (semuanya adil) & didoakan oleh muslimin sepanjang zaman "RadhiyaLlahu 'Anhum" tanpa henti hingga hari kiamat.

Perlukah kita menyesal karena tak berjumpa RasuluLlah? Jikapun iya; yang paling besar sesalnya mungkin adalah para Tabi'in. Betapa tidak; mereka berjarak amat dekat; mungkin hanya beberapa kejap saja dari perjumpaan dengan Sang Nabi. Kata orang Jawa "kepancal sak thumlik". Dan mereka terluput. Aduhai kasihan. Dan kita menjumpai riwayat; pada mereka yang dicekam sesal itu Abud Darda' RadhiyaLlahu 'Anhu mengatakan, "Janganlah kalian berduka; sebab begitu banyak orang berjumpa Muhammad ShallaLlahu 'Alaihi wa Sallam lalu mereka dijungkalkan ke neraka karena keingkaran & keraguannya. Lebih utama bagi kalian untuk mensyukuri karunia Islam dan persaudaraan imani yang kalian rasakan."

Kita memang tak berjumpa RasuluLlah; tak beroleh gelar Sahabat; & tak didoakan insan secara khusus dengan "RadhiyaLlahu 'Anh". Tapi kita masih bisa berjumpa dengan orang-orang Shalih & kekasih-kekasihNya. Kebanyakan di antara para Wali Allah itu memang disembunyikanNya di antara ramai orang. Meraka adalah Atqiyaul Akhfiya'; yang datangnya tak disadari & perginya tak dirasakan; rekomendasinya tak dipakai & lamarannya ditolak; wujudnya tak menarik & penampilannya tak meyakinkan; tapi jika bersumpah dengan asma Allah, maka Allah pasti mengijabah doa mereka.

Para 'ulama bersepakat dari banyaknya keterangan dalam hadits; para Wali Abdal ummat ini yang berjumlah 30 atau 40 orang; yang dicinta Allah seperti Ibrahim; yang dengan sebab mereka Allah turunkan hujan & datangkan pertolongan; serta yang jika satu meninggal diganti oleh yang lain; mayoritas dari mereka adalah penduduk Negeri Syam. Mereka ada di antara orang-orang yang terpuji dalam hadits riwayat Muslim, "Akan senantiasa ada di kalangan ummatku segolongan orang yang senantiasa menzhahirkan kebenaran. Takkan membahayakan mereka orang-orang yang abai, tak peduli, & tak membantu; hingga datanglah hari kiamat."

Kami mengunjungi Gaza; satu bagian kecil di sudut selatan bentangan pantai timur Laut Tengah yang disebut Negeri Syam (Lebanon, Suriah, Palestina, Yordania) & berharap berjumpa dengan para kekasih Allah. Sebab jika perjumpaan dengan Nabi walau sekali begitu agung maknanya; perjumpaan dengan orang shalih pun insyaaLlah membersihkan hati kita, menyemangatkan 'amal kita, & membuat kita senantiasa berdzikir pada Allah. Ya; kami sadar; kebanyakan para kekasih Allah itu tersembunyi; kecuali sedikit. Tapi kamipun berharap-duga dari segala zhahirnya; Perdana Menteri Isma'il Haniyah yang akrab dipanggil Abul 'Abd termasuk yang sedikit; kekasih Allah yang ditampilkan di pentas dunia.

Kami hanya rombongan sederhana; tak dibersamai utusan resmi negara; tak jua punya jejaring yang memungkinkan bisa menghadap beliau dengan mudah. Harapan kami tak muluk. Berjumpa sekelebatan dan saling melambai dalam senyum pun cukuplah. Tapi Allah mengaruniai kami 3 kali pertemuan dengan beliau. Tiga-tiganya indah.

Kami memasuki Gaza pada hari Rabu petang 12 Desember. Kamis pagi kami bergegas menuju TK Bintang Al Quran yang menjadi amanah Sahabat Al Aqsha di Jabaliya Al Balad hingga Zhuhr pun tiba. Tiba-tiba pemandu kami mengatakan bahwa kakak dari besannya mengundang untuk makan siang. Kamipun datang ke sebuah rumah bersahaja namun kokoh berlantai dua. Bincang-berbincang sejenak, mengudap kue & kopi; lalu tiba-tiba berserilah wajah tuan rumah, "Abul 'Abd memenuhi undangan kita. Ini beliau datang!" Inilah perjumpaan kami pertama kali. Dia datang, memeluk & mencium kening kami dengan ramah, sapaannya penuh doa bertubi-tubi. Dan kamipun duduk untuk makan bersama beliau. Satu meja. Speechless. Sampai-sampai yang terfasih Bahasa Arabnya di antara rombongan pun tak bisa banyak berucap. Hanya berkaca-kaca. Sementara beliau terus tersenyum, menjawab tanya, & dari lisannya beruntaian asma Allah dalam puja-puji serta doa.

"Jalan menuju Masjidil Aqsha adalah ridha Allah Ta'ala. Dan ridha Allah dijemput dengan berjihad di jalanNya."

Hanya itu taujihnya. Ringkas dan jelas. Amat membekas.

Hari berikutnya Jumat, kami menyengaja menunaikannya di Masjid dekat rumah beliau. Ternyata beliau terjadwal Khathib & Imam di daerah lain. Usai shalat kamipun keluar dan berjalan menyusur kampung beliau yang padat & riuh. Mengamati sejenak aneka wajah yang memancarkan ketegaran, perjuangan, & pengorbanan; tiba-tiba sebuah rombongan bergerak dengan duyunan orang menyalami. Lagi-lagi. Itu Abu 'Abd! Dan beliau menuju ke arah kami. lagi-lagi bersalam & berpeluk dalam doa yang syahdu. Ternyata menurut seorang rekan relawan yang telah sebulan di Gaza; insyaaLlah kita akan jumpa Abu 'Abd di lorong-lorong sempit, pasar yang riuh, atau tepian pantai saat dia berolahraga pagi. Ah, betapa rawan keamanan seorang Perdana Menteri yang ditakuti Zionis ini jika begitu kesehariannya. Ketika kami sampaikan ini pada pemandu kami, dia tersenyum & berkata, "Bukankah memang syahid yang dicarinya?" 

Kami lalu sadar; tentu para pengawalnya tetap menunaikan tugas dengan disiplin & berkualitas. Itu tampak jelas. Tapi tak ada keangkeran dalam semuanya; senyum & keramahan Abul 'Abd mencairkan aura kental pengamanan ketatnya, tawakkalnya kepada Allah mengalahkan penyandaran keselamatannya pada manusia & benda-benda. Apakah Allah memang hendak menunjukkan pada kami bahwa pemimpin macam ini belum punah? Bahwa ia bukan hanya penghias halaman buku-buku sejarah & nostalgi para Khalifah.

Dan berikutnya kami diterima di rumahnya yang disulap jadi kantor sebab Gedung Kabinet telah rata dengan tanah. Sekali lagi hanya merinding dan berkaca-kaca mendengar sambutan & ungkapan terimakasihnya untuk "Saudara dari negeri yang paling jauh tempatnya; tapi salah-satu yang paling dekat di dalam hatinya.."

Salim A. Fillah
hamba Allah yang tertawan dosanya, santri yang tertahan kejahilannya, berharap ada manfaat dalam faqir dan dha'ifnya
pelayan Majelis Jejak Nabi